Posted by rampak naong - -

Paska keputusan MK bahwa Pilgub harus diulang di Bangkalan dan Sampang, seorang teman di Jawa mengirim SMS begini, “Wah..Jawa Timur ditentukan oleh Madura ya..”. Barangkali teman saya sekedar bercanda. Bagi dia (dan orang luar Madura) ucapan di atas tidak memiliki makna apapun. Tetapi tidak demikian bagi orang Madura. Ucapan di atas seakan menjadi strategi balik bagaimana orang Madura yang selama ini “dipandang”, sekarang justru “memandang”. Selama ini “ditentukan”, sekarang “menentukan”. Bagi saya, inilah “barakah” lain dari keputusan pemilihan ulang gubernur bagi masyarakat Madura, terlepas (sementara) dari masalah yang menjadi latar pengulangannya.

Dalam segala hal, Madura sering menjadi obyek yang “dipandang” ketimbang menjadi subyek yang “memandang”. Madura diposisikan sebagai pinggiran, ketimbang subyek setara yang juga memiliki hak menentukan. Dalam tulisan ini, saya ingin menjelaskan bagaimana Madura “dipandang” dalam tiga hal; stereotip kekerasannya, “keluguannya”, dan kebijakan politik selama ini terhadap masyarakat Madura.

Madura sebagai obyek yang “dipandang” tampak dalam banyak penelitian atau citra yang di(re)produksi oleh media. Hasil penelitian, meski berlindung di balik objektivitas, ternyata sulit keluar dari stereotip kekerasan yang sudah dilekatkan pada masyarakat Madura, seperti dilakukan Elly Touwen-Bouwsma (1989). Akibatnya, stereotip kekerasan ini seakan menemukan pembenarannya. Stereotip kekerasan ini seolah menjadi “ilmiah” dan “alamiah” sekaligus. Dengan begitu menjadi terlupakan bahwa stereotip kekerasan merupakan hasil konstruksi, representasi dan permainan bahasa.

Masalahnya stereotip kekerasan ini sudah menghunjam dalam alam bawah sadar orang luar. Sering ketika saya menyebut asal Madura saat berkenalan dengan orang luar, jawabannya, “Oo...”. Suatu ungkapan keheranan seolah saya makhluk asing, yang siap memangsa sesama.
Stereotip kekerasan juga terus-menerus di(re)produksi oleh media. Setiap kali ada pemilu, media mengutip pendapat analis politik, petugas keamanan, lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu, yang menempatkan Madura dan tapal kuda sebagai daerah rawan konflik. Penempatan Madura sebagai daerah rawan konflik , saya kira, lebih didasarkan atas kuatnya prasangka tadi, ketimbang hasil kajian serius. Ternyata dalam praktiknya, terutama di Madura, tak ada kekerasan apa pun ketika pemilu atau pilkada berlangsung.

Kalau pun kekerasan misalnya terjadi, bukan berarti streotip kekerasan terhadap masyarakat Madura benar. Anasir-anasir yang membentuk kekerasan tidaklah tunggal, tetapi harus menghitung banyak faktor. Apalagi kekerasan itu terkait dengan permasalahan politik. Jika terjadi kekerasan, misalnya, maka analisisnya tidak bisa dipusatkan pada lokus dimana kekerasan terjadi, tetapi juga harus menghitung aktor luar yang bermain.

Kedua, hasil penelitian seringkali memandang masyarakat madura dengan stereotip “keluguannya”. Pandangan ini terutama nampak ketika menjelaskan pola relasi kiai-masyarakat. Ungkapan-ungkapan seperti “paternalistik”, “kepatuhan total”, dan sami’na wa atho’na“ banyak muncul ketika menjelaskan pola relasi kiai-masyarakat. Pola relasi ini kemudian dijelaskan dengan meminjam teori Gramsci, bahwa kiai Madura sangat hegemonik dan dominatif.

Masyarakat Madura memang dikenal sangat menghormati kiai. Tetapi masyarakat Madura bukan subyek passif. Dalam pola relasi yang seperti itu, masyakarat Madura aktif melakukan negosiasi, membuka ruang diskusi, serta turut mendefinisikan dan membentuk makna sehingga tercapai konsensus. Dalam pengalaman keseharian, tidak jarang saya menyaksikan masyarakat “berdebat” dengan kiai sebelum sikap dan pandangan tertentu diambil bersama.
Bahkan tak jarang pula masyarakat berbeda dengan kiai, jika konsensus tidak tercapai. Tetapi perbedaan itu tidak kemudian menjadi dasar untuk meninggalkan kiai. Falsafah Bapa’, babu,’ guru, rato tetap dipegang, sekalipun dimainkan dengan “cerdas” oleh masyarakat Madura. Sehingga kesimpulan bahwa pola relasi kiai-masyarakat ( kalau benar) yang “sami’na wa atho’na” akan mengancam nilai demokrasi, merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa.

Di samping itu, keluguan masyarakat Madura juga dibangun melalui anekdot dan lelucon. Anekdot itu dibangun kadang-kadang hanya untuk menertawakan “diri yang lain”. Citra keluguan orang Madura dieksploitasi untuk kepentingan mengkatarsiskan kepenatan psikologis “diri yang lain”, dan oleh karena itu terhibur. Sementara, orang Madura cukup jadi obyek hiburan, karena hakikatnya memang bukan orang Madura yang menertawakan diri sendiri.

Ketiga, masyarakat Madura sebagai objek yang “dipandang” juga sangat tampak dalam setiap pengambilan keputusan politik. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan masyarakat Madura tidak dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat Madura (kecuali elit Madura). Sejak pembangunan Suramadu, rencana pembangunan PLTN, eksplorasi Migas di Sampang dan Sumenep, rencana industrialisasi, dll. sangat terlihat Madura hanya menjadi “objek”.
Belum lagi jika melihat kebijakan pemerintah pusat/propinsi/kabupaten terhadap permasalahan riil masyarakat Madura nampak sekali kebijakan “anak tiri” terus berlangsung. Pada hal permasalahan nyata yang menimpa masyakarat Madura tidaklah ringan. Terutama yang terkait dengan kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.

Satu contoh kasus gizi buruk di Madura. Dari total 511.500 jiwa anak yang menderita gizi buruk, daerah madura mendominasi. Angka gizi buruk di pamekasan pada tahun 2007 sebesar 5,3 persen, suatu angka tertinggi di jatim. Berikutnya sampang dan bangkalan 4, 9% dan 4,2 persen. Selain tinggi angka gizi buruk, ketiga kabupaten ini juga memiliki persentase gizi kurang yang tinggi pula. Jika gizi kurang di jatim 14,4% di Pamekasan mencapai 22 persen, Sampang 17,2 persen, dan Bangkalan 16,4 persen. Hanya sumenep yang persentase gizi buruknya lebih rendah dari pada jatim, yaitu 2,5 persen. ( Kompas Jatim, 23 Oktober 2008)

Permasalahan pendidikan tidak kalah akutnya. Dari hasil penelitian saya di tiga kecamatan di kabupaten Sumenep (2007), diperoleh data yang sangat memperihatinkan. Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP/MTs hanya 78,06 persen. Sementara Angka Partisipasi Murni (APM) jauh lebih rendah yaitu, 59,69%. Sementara di Sampang lebih memprihatinkan lagi, APM tingkat SMP/MTs masih di bawah 50%.
Belum lagi jika kita melihat data kerusakan sekolah. Untuk tingkat SD/MI saja di tiga kecamatan di Sumenep, dari 855 ruang kelas terdapat 304 yang mengalami kerusakan berat. Bisa dibayangkan berapa jumlah kerusakan sekolah di empat kabupaten di Madura.
***
Posisi Madura yang “menentukan” dalam pemilihan ulang gubernur Jawa Timur kemarin, sejatinya bisa dijadikan momentum oleh masyarakatnya untuk keluar dari posisi sebagai objek yang “dipandang” menjadi subjek yang “memandang”.



Hal ini memerlukan kerja-kerja kebudayaan setidaknya dalam dua hal. Pertama, mendefinisikan, mengkaji, dan menulis ulang kebudayaan Madura dari posisinya selama ini yang “didefinisikan”, “dikaji”, dan “ditulis” oleh orang luar. Tentu saja usaha ini harus ditempatkan dalam konteks keindonesiaan yang plural dan kesiapan hidup berdampingan dalam masyarakat yang multikultural. Kedua, membangun kebersamaan untuk melakukan advokasi terhadap permasalahan riil masyarakat Madura di hadapan negara yang cenderung top-down dan tidak partisipatif.

Akhirnya, kebanggaan sesaat dan berlebihan karena menjadi penentu gubernur, apalagi memercayakan nasib Madura kepada janji gubernur terpilih, hanya menjadikan Madura tetap dalam posisinya yang “dipandang” dan “ditentukan”.
__________________