google.com |
Suatu hari di tahun 2002, secara husus (almarhum) ayah memanggil saya ke kamar pribadinya. Beliau mengingatkan usia saya yang sudah kepala tiga. Gamblangnya, ayah meminta saya segera menikah. Mungkin ayah merasa hawatir, jika saya tidak didesak saya akan terjangkit sifat frigid. Saya akan terlelap dalam zona nyaman kesendirian. Membeku. Membatu.
Saya bilang, “tunggu dulu yah..saya akan komunikasi dengan calon saya. Jika ia siap, tak ada alasan saya menunda lagi. Jika tidak, mungkin harus nunggu sampai ia siap”.
Ayah menerapkan deadline. Beliau memberi waktu seminggu bagi kami untuk mencapai konsensus. Segera saya negosiasi dengan calon saya. Deal. Calon saya rupanya sudah ngebet juga. Segera kabar ini saya sampaikan sama ayah dan ibu. Saya melihat di wajah mereka ada kegembiraan mendengar good news ini. Ahirnya tanggal 18 september 2002 saya mengahiri kesendirian saya dalam suasana pernikahan yang sangat sederhana.
Saat menikah saya terus terang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tetapi bukan berarti saya tidak memiliki aktivitas. Saya mengajar di madrasah nasa tempat saya sekolah dulu. Bahasa yang digunakan di daerah saya sebenarnya bukan mengajar tetapi mengabdi. Di sini saya memperoleh honor yang diberikan persemester. Itu pun tidak seberapa. Kadang-kadang saya diminta oleh mahasiswa dan NGO sebagai fasilitator pelatihan atau workshop. Dari sini saya kalau pun dapat, jumlahnya tidak seberapa, malah sering gratis.
Terus terang, ketika mau menikah saya tak pernah berpikir ruwet nanti mau makan apa. Mungkin karena saya dibesarkan di lingkungan keluarga dan masyarakat desa yang sangat sederhana, cara pikir saya juga sederhana. Jalani saja.
Kebetulan saya besar dalam keluarga yang “anti negara”. Maklum ayah saya dulu –ketika rezim Soeharto— termasuk pengikut setia PPP. Ayah malah pernah ditahan meski sebentar di koramil karena aktivitas politiknya itu. Sejak kecil saya diajari “jangan mencari ilmu untuk niat menjadi PNS”. Petuah ayah sangat melekat. Selesai kuliah saya belum pernah menggunakan ijazah saya untuk melamar PNS. Entahlah saya sama sekali tak tertarik. Niat saja tidak punya. Saya lebih suka menjadi manusia bebas.
Tentang “jangan mencari ilmu untuk niat jadi PNS” sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pandangan politik ayah. Ini adalah pandangan kebudayaan. Dalam pandangan masyarakat pedesaan yang mayoritas memperoleh pendidikan dari pesantren, mencari ilmu itu diniati untuk menghilangkan kebodohan. Jika bodoh habis, orang itu diharapkan memiliki akhlak al-karimah baik kepada Allah, manusia, dan alam. Orang desa biasanya selalu berdoa, semoga memperoleh ilmu barokah dan memberi manfaat kepada diri atau pun orang lain. Kerja hanya efek dari ilmu, bukan tujuan.
Sekali lagi karena saya hidup di lingkungan desa yang sederhana, cara pikir saya sederhana. Saya yakin menikah justru diyakini akan membuka pintu rizki yang tak terduga. Tak disangka-sangka.
Dan benar. Keajaiban itu datang. Sebulan setelah menikah, saya dihubungi senior untuk terlibat dalam program pendidikan kedamaian berbasis pesantren di Madura. Program ini kerjasama Konsorsium Keadilan dan Kedamaian (KKK) Malang dengan Common Ground Indonesia (CGI). Saya dikontrak setahun. Penandatangan kontrak dilakukan di Surabaya.
Setahun menikah istri saya hamil, bersamaan kontrak saya dengan KKK dan CGI habis. Meski ada sisa simpanan, tapi tak seberapa. Keajaiban muncul lagi. Saya dihubungi kawan untuk membantu Tranparency International Indonesia yang sedang punya program di kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Kontrak saya dengan TII juga setahun. Ini berlangsung hingga anak saya lahir.
Putus kontrak dengan TII, kawan saya di CGI meminta saya bersama tiga kawan untuk membuat modul pendidikan kedamaian berbasis pesantren. Seiring dengan perjalanan waktu, anak saya tak terasa sudah berusia dua tahunan. Lumayan, rizki yang saya peroleh dengan tidak disangka-sangka bisa membeli kebutuhan anak, yang (kayaknya) memang disengaja oleh pengusaha industri pemasok kebutuhan anak dibuat mahal.
Anak terus membesar, seiring dengan rizki dari Allah yang tiada terkira. Habis kontak pembuatan modul, saya diminta untuk mengelola jurnal pendidikan dan kebudayaan. Namanya jurnal edukasi. Sudah berlangsung dari 2004-sekarang. Di sini saya menemukan dunia saya, karena saya bisa meneruskan hobby menulis.
Saat ini anak perempuan pertama berumur 7 tahun. Sudah kelas satu MI. pada bulan juni 2010 Allah menganugerahkan kami anak kedua, seorang anak laki-laki yang gantengnya justru mirip ibunya. Total jumlah keluarga kami 4 orang. Saya + istri + 2 anak =4. Pertanyaanya, apakah kehadiran anak kedua mengurangi rizki kami yang sebelumnya berjumlah 3 orang? Bagi saya tidak. Rizki tidak mengikuti logika matematika.
Kemurahan Allah lagi-lagi saya rasakan. Saya dimudahkan memperoleh sewaan 3 petak sawah. Saya bertani sejak setahun lalu. Di atas sawah itu saya tanami padi. Selama tiga musim tanaman dalam setahun, selang-seling saya tanami padi dan kacang hijau . Hasil bertani padi saya simpan untuk bekal makan selama setahun. Paling tidak beras saya sudah tidak repot. Tinggal mikir lauknya.
Karunia Allah sudah tak terbilang. Sayang manusia sering mengeluh daripada mensyukurinya. Jujur saja, setiap hari keinginan meneror pikiran saya. Seolah saya selalu diteror perasaan tidak cukup. Masalah berat yang dihadapi saya, adalah menjaga diri untuk selalu konsisten bersyukur atas karunia Allah. Beruntung saya punya banyak kawan yang darinya saya banyak belajar. Tetangga saya dengan kesederhanaanya selalu memberi inspirasi bagi saya.
Nah, bagi Anda yang belum menikah masihkah mau menunggu punya kerjaan dulu?
Posting Komentar