google.com |
Rampak naong adalah falsafah masyarakat Madura. Lengkapnya falsafah ini berbunyi, “rampak naong, beringin korong”. Arti bebasnya kira-kira, “rindang dan teduh”. Frase ini memang menunjuk pada pohon yang dulu paling saya benci; BERINGIN. Sebuah pohon dengan akar yang kuat, batang kokoh, teduh dan rindang, meski menurut mitos orang Madura banyak makhluk halusnya.
Rampak naong makin terkenal karena menjadi nama group musik. Saya sendiri tidak tahu, apa personelnya dari Madura? Terus terang, saya cuma tahu namanya. Sampai sekarang, satu pun saya belum pernah denger lagunya.
Di jakarta juga ada yayasan rampak naong. Sebuah yayasan tempat berhimpunnya masyarakat Madura. Dulu ketika kuliah saya pernah menghadiri acaranya, kalau gak salah halal bihalal. Ketika itu yang jadi MC kocak, Pepeng Si Jari-jari. MC ngetop pada masanya.
Ahirnya rampak naong saya pilih menjadi nama blog saya. Bukan latah. Saya memilih frase ini dengan sadar. Sebagai orang Madura, saya merasakan betul bagaimana orang luar menempatkan saya dalam citra yang penuh prasangka. Satu hal yang saya pikir kontraproduktif dengan konteks keindonesiaan yang plural. Atau dengan gagasan multikultural, yang justru kadang-kadang dicederai oleh orang yang paling getol mengkampanyekannya.
Salah satu prasangka yang melekat betul dalam alam bawah sadar orang luar, Madura = kekerasan. Carok ditunjuk sebagai mekanisme penyelesaian masalah yang menggunakan kekerasan paling sempurna. Ah..lengkap sudah saya menjadi terdakwa. Pada hal asli saya lembut. Selembut (minus kama) sutra. Hi..hi..
Saya juga heran. Jika Anda membaca berita di koran, 1 orang mati akibat carok pasti bulu kuduk Anda berdiri. Yang terbayang dalam benak Anda adalah clurit, senjata yang mirip tanda tanya. Ih.. serem. Tapi jika Anda mendengar 10 orang mati akibat terbunuh senjata pistol, Anda biasa saja. Maksud saya bulu kuduk tidak semerinding merespon celurit. Apa karena pistol senjata modern? Ah jebakan simbol ternyata dahsyat. Pada hal bahaya membunuhnya lebih dahsyat ketimbang celurit yang dianggap senjata tradisional itu.
Nah, sekarang saya mau mengajukan pembacaan lain. Membunyikan suara yang mungkin dari dulu tak pernah terdengar. Ya..rampak naong. Satu falsafah yang menegaskan bahwa orang madura suka damai. Seteduh pohon beringin. Sedamai semilir angin yang menumpuk di rindangnya.
Sebagai frase yang menunjuk pada pohon beringin (maaf bukan dalam makna politis), pohon ini bisa menjadi tempat bagi siapapun yang ingin berteduh. Siapa saja yang ingin bernaung sambil merasakan semilir angin yang menyejukkan. Sambil asyik berbincang, sesekali bersenda gurau, atau sekedar berembuk dari permasalahan remeh sampai yang serius. Terserah mau duduk bersila atau selonjor, silahkan. Namanya juga di bawah pohon.
Karena rampak naong ini pula, sampai detik ini, tak ada kerusuhan SARA di pulau Madura. Orang China yang beragama Hindu, Budha, Kristen, Katholik atau yang sudah menjadi muslim, ras Arab, India, Pakistan yang beragama Islam hidup berdampingan dengan orang Madura. Damai, sejuk, dan penuh toleran. Kehidupan yang sangat kontras dengan stigma kekerasan yang disandangnya.
2 Responses so far.
Seharusnya, dengan falsafah ini “rampak naong, beringin korong”, Golkar tak tertandingi di Madura
udah pada rubuh semua ke pohon beringin, banyak jinnya sih. makanya di madura gak laku lagi
Posting Komentar