Posted by rampak naong - -

google.com
Saya sering mendengar petuah bijak dari para tetua di Madura bahwa, “dunnya areya cong tadha’ tabunna (harta itu nak tidak ada tepinya)”. Semakin kita mengejarnya, semakin kita kurang. Petuah bijak ini merupakan sindiran sama orang yang merasa tidak cukup.  Selalu merasa miskin. Pada hal kekayaannya sudah berlimpah. Betumpuk-tumpuk. Dalam pandangan Masdar F. Mas’odi, salah satu seorang pengurus PBNU, orang ini mengidap penyakit “kemiskinan subyektif”, orang yang selalu merasa miskin. Pada hal secara onyektif, dia kaya-raya.
 
Saya punya tetangga yang mungkin masuk katagori ini. Saya menulisnya bukan dalam rangka menggunjingkannya. Saya hanya berusaha belajar dan mengambil hikmah. Karena saya yakin Tuhan menebarkan hikmah dimana saja. Tinggal kita memungutnya dan berusaha merasukkan hikmah dalam hati, ucapan, dan tindakan.
 
Tetangga saya ini sudah menunaikan haji. Istri, anak, dan menantunya juga sudah.  Di desanya keluarga ini termasuk barisan the have. Sawah luas, usaha gentengnya maju, dan simpanannya di Bank untuk ukuran orang desa banyak. Suatu hari saya pernah dikasih tahu buku rekeningnya. Jumlahnya saat itu hampir 100 juta. Belum lagi kekayaan dalam bentuk emas. Kalau dipasang sejak pegelangan tangan hingga siku cukup.
 
Jangankan berbagi, sama dirinya sendiri saja menurut banyak orang kikir. Pakaiannya yang digunakan sangat tidak layak untuk ukuran orang punya. Untuk mengimbangi cara berfikir tetangga saya mengajukan penafsiran lain, “bukankah pak haji itu bagus, memegang prinsip kesederhanaan?”.

“Itu bukan kesederhanaan. Tapi menyiksa diri. Kikir sama diri sendiri”, kata tetangga pada saya.

Saya tak menyanggahnya lagi. Cuma fakta yang saya temui ada benarnya. Dalam kesempatan rapat takmir masjid, ia duduk di sebelah saya. Omplong (kaleng) yang biasa digunakan untuk menaruh sumbangan dari jama’ah takmir tepat di depannya. Pak haji mengeluarkan 2 ribu dan dimasukkannya dalam kaleng. Jama’ah di sebelahnya kaget. Pak haji mengambil kembalian seribu dari dalam kaleng.

Jama’ah di sebelahnya nyeletuk, “uang 2 ribu masih minta kembalian, pak haji?”.
“La..uang seribu perak ini kan bisa buat beli rokok ketengan”, jawabnya tanpa beban. Jama’ah masjid hanya mesem-mesem.

Fakta lain, setiap pagi ia pergi ke tempat pembuangan sampah. Tetapi ia bukan pemulung sampah. Ke sana ia mencari sampah yang mungkin bisa dijual. Hanya untuk beli rokok dan kebutuhan lainnya. Pada hal semua tetangga tahu, kalau hanya untuk beli rokok, dari usahanya, sawah luasnya, dan bunga banknya lebih dari cukup.

Belakangan baru saya tahu. Prinsip pak haji, uang yang dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari tidak boleh mengambil dari keuntungan usahanya. Makanya ia sempatkan cari kegiatan tambahan lain, termasuk mencari bekas sampah. Jika tidak ada, pak haji akan mengetatkan pengeluarannya. Bahkan untuk makan pun ia tak segan makan makanan yang sangat-sangat sederhana untuk ukuran orang kaya seperti dia.

Lesson learned

Ada 6 hal yang bisa kita ambil dari kasus di atas.
  1. Dunia (harta) memang tak bertepi. Mengejar dunia secara tidak seimbang akan menggiringnya dalam pusaran kerakusan. Meski sudah berlimpah karunia Tuhan, bahkan tidak habis untuk tujuh turunan, tetap saja merasa kurang. Tetap saja merasa miskin. Dalam derajat tertentu, kekayaan sudah menjadi tujuan (goal), bukan alat (media). Dalam sebuah tulisannya di salah satu harian nasional, Gus Mus malah melihat hubbun dunnya (cinta berlebih kepada duniawi) sebagai akar masalah bangsa ini, lebih-lebih di lapisan elitnya. Kebohongan sebenarnya hanya efek.
  2. Menempatkan kekayaan sebagai tujuan akan mengerem ketulusan berbagi. Seruan moral agama untuk selalu membantu kaum lemah tidak kuat menggema dalam kesadarannya. Dalam pandangan orang Madura seharusnya, mon sogi, pasogha’ (kalau jadi orang kaya, harus menjadi tiang penyangga bagi yang lemah). 
  3. Ketulusan berbagi sebenarnya efek dari wujud syukur. Syukur atas kekayaan yang berlebih tidak cukup hanya di lisan. Tetapi harus mewujud pada tindakan untuk membantu sesama, terutama kaum  lemah. Ketiadaan syukur mengakibatkan orang didera perasaan selalu miskin atau dalam istilah Masdar diatas “kemiskinan subyektif”.
  4. Hubbun dunnya tidak saja mendorong manusia rakus, tetapi juga kikir. Malah dalam banyak kasus tidak cukup kikir pada orang lain, tetapi juga kikir pada dirinya sendiri.
  5. Dalam masyarakat Madura ada kearifan lokal seperti ini, “kenengnge, kennenganna. Lakone, lakona” ( makna bebasnya, orang itu harus menempati yang seharusnya menjadi tempatnya dan melakukan sesuatu yang menjadi pekerjaannya). Kasus di atas sebenarnya contoh dari orang yang “menempati dan melakukan sesuatu tidak pada tempatnya”. Orang kaya yang seharusnya berbagi, malah merebut rizqi orang lain yang memang pekerjaanya memulung sampah. Dalam masyarakat kita ahir-ahir ini, salah tempat dan salah pekerjaan sudah mulai dianggap biasa. Misalnya, artis menjadi da’i, artis jadi politisi, politisi jadi artis, kiai jadi politisi, dan seterusnya.
  6. Kesimpulan saya, kemiskinan subyektif, ketidakmauan berbagi dan harta yang tak bertepi merupakan gerak simultan yang terkait satu sama lainnya.
Semoga bermanfaat