Posted by rampak naong - -

theindonesianwriter

Anak yatim seringkali disematkan pada anak-anak yang ditinggal ayahnya. Kalau ditinggalkan ibunya disebut piatu. Jika semuanya meninggal disebut yatim piatu. Dalam agama anak yatim diposisikan sedemikian mulianya. Memedulikan anak yatim dianggap sebagai wujud dari pengamalan ajaran agama. Bahkan orang yang tidak memedulikan anak yatim dicap sebagai pendusta agama.

Yang ingin saya diskusikan dalam tulisan ini bukan anak yatim jenis di atas. Anak yatim yang saya maksud dalam tulisan ini adalah anak yatim yang secara lahir lengkap orang tuanya, namun secara bathin justru tidak merasakan kehadiran orang tuanya. Ya..semacam pembiaran yang dilakukan secara sengaja oleh orang tuanya dengan tidak memedulikannya.

Tidak memedulikan di sini bisa dalam makna lahir atau batin. Cuma dalam tulisan ini saya akan lebih fokus mendiskusikan yatim dalam makna yang bathin. Karena saya pikir, soal kebutuhan lahir sangat banyak orang tua yang behasil di wilayah ini. berhasil menyediakan kebutuhan lahiriah anak-anaknya sejak membelikan pakain bagus, penyedian makanan bergizi, uang jajan yang banyak, mobil mewah, hp terkini, dan segala kebutuhan lahirian anak lainnya.

Tetapi yakinkah anda, hanya memenuhi kebutuhan lahiriah akan mengetarkan batin anak? Akan mengisi ruang batin terdalam anak? Menyuplai dahaga kasih sayang anak?
Kalaupun ia, mungkin, tidak akan langgeng. Getar itu hanya akan berhenti di permukaan. Tidak akan menelusup ke ruang terdalam bathin anak. Karena anak bukan seonggok daging yang melulu harus diberi daging. Tanpa roh dan tanpa darah, daging itu akan membusuk. Memendam seribu penyakit dan menyebarkannya.
Kebutuhan lahiriah yang kita sediakan tak akan menjawab ketika anak punya masalah. Ketika anak butuh sapaan. Ketika anak butuh pelukan. Ketika anak butuh usapan. Ketika anak sakit. Ketika anak butuh dorongan. Ketika anak harus mengunyah kerasnya realitas kehidupan di luar. Ketika....

Yang bisa menggetarkan bathin anak adalah kasih sayang. Ini adalah roh yang harus menggarami seluruh proses pendidikan orang tua kepada anak. Kasih sayang tidak mahal. Bahan-bahannya sudah ada dalam wujud potensi dalam diri kita. Tinggal kita mengelolanya.

Jika kasih sayang sudah menjadi perspektif dalam pola kepengasuhan di keluarga, maka energi yang berkembang dalam keluarga adalah energi positif. Contoh sederhana saja, menyapa anak tentu akan beda jika dilakukan dengan pendekatan kasih sayang ketimbang penuh amarah. Anak akan merasa nyaman dan aman. Sapaan yang lembut penuh kasih sayang akan memberi efek domino bagi anak untuk melakukan aktivitas/tindakan dengan nyaman pula.

Jika menegur anak, anak akan merasa nyaman jika teguran itu dilakukan dengan penuh kasih sayang. Teguran kasih sayang berarti meniscayakan penyingkiran nafsu amarah. Teguran yang penuh amarah malah memunculkan respon negatif dari anak, meski tidak terkatakan atau dimunculkan dalam tindakan, tapi akan bersemayam dalam hati. Suatu saat ketika momentumnya tersedia, rasa sakit yang disekap dalam hati akan keluar tanpa kendali. Singkatnya, kasih sayang harus menspiriti pola kepengasuhan orang tua kepada anak.

Kasih sayang bukan barang atau benda. Karena itu wujudnya tentu tidak kelihatan. Mungkin karena sifatnya yang laten, orang tua kemudian berpandangan bahwa ketika memberi barang berarti itu sebagai wujud dari kasih sayang. Pada hal, memberi barang dan kasih sayang adalah dua hal yang berbeda. Saya banyak menyaksikan, justru semakin banyak diberi barang, anak menjadi penuntut. Dengan kata lain, dalam pikiran orang tua (atau mungkin juga anak) nanti akan sampai pada kesimpulan bahwa kehadiran orang tua hanya ada ketika barang atau benda yang dituntut anak ada.

Saya tidak mengatakan bahwa barang atau benda yang menjadi kebutuhan anak tak perlu disediakan. Tetapi yang ingin saya katakan bahwa, benda yang kita beli untuk anak ditempatkan dalam konteks kasih sayang kepada anak, bukan pengganti kasih sayang itu sendiri. Jadi ada atau tidak benda itu, kasih sayang harus disemai. Kasih sayang menjadi garam dalam seluruh pola kepengasuhan kita kepada anak. Ketika kita menggendongnya, menidurkannya, menyuapinya, menegurnya, berbicara dengannya, bermain dengannya, berdialog dengannya, mengawasinya, dan seterusnya. Satu contoh kecil saja, jika kita terbiasa mengecup dan mengusap kening anak sebelum ia berangkat sekolah, itu akan memberikan pengaruh bathin yang dahsyat, bahkan pengaruhnya tidak akan hilang meski ketika besar, ia harus berpisah dari keluarga, karena keperluan study, misalnya.

Kesimpulan saya, jika kita menjalankan pola kepengasuhan anak tetapi abai terhadap semaian kasih sayang yang seharusnya menggaraminya, meski kita sudah menyediakan kebutuhan lahirahnya dengan meriah, kita sebenarnya telah meyatimkan anak. Secara lahir kita ada, tetapi secara bathin kita telah melakukan pembiaran, yang dalam jangka panjang justru akan menjadikan masalah pada pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak. Jadi, mari stop meyatimkan anak-anak dengan menyediakan “gizi” kasih sayang yang cukup. Dengan cara ini kita akan utuh menjadi orang tua; orang tua lahir dan orang tua bathin.