Posted by rampak naong - -

“Orang yang paling biadab adalah orang
yang melakukan kejahatan pada yang lemah”


google.com
Warga miskin pengguna jamkesmas lagi-lagi menjadi korban oleh dokter yang tidak punya hati. Sudah diperlakukan secara diskriminatif  dan  tidak ramah oleh perawat,  dokter yang menangani ibu ini juga sangat tidak professional. Akibat kecerobohannya, ibu ini harus dirujuk ke rumah sakit Dr. Sutomo, Surabaya. Di Surabaya pula ibu ini akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir.

Ibu yang meninggal dunia ini adalah ibu murid saya. Namanya ibu Ridwani, berusia 55 tahun. Ketika jenazah dishalatkan saya luangkan waktu untuk hadir di rumah duka. Saya bertemu dengan murid saya yang sangat berbakat menulis puisi dan cerpen ini. Namanya Abdul Latif. Tak banyak yang bisa saya omongkan, kecuali menepuk pundaknya, dan saya bilang, “Latif, kuatkan dirimu”.  Ia tidak menjawab. Duka masih menyelimuti wajahnya.

Saya juga berjumpa dengan bapak Latif. Namanya pak Maye. Ia tidak ikut menyalatkan jenazah istrinya, karena menjaga anak satunya yang tidak sadarkan diri, akibat pingsan mendengar ibunya meninggal.
7 hari sejak kematian, saya bersama istri kembali bertandang ke rumahnya. Saya berbincang dengan pak Maye. Pak Maye menceritakan kronologi peristiwa yang dialami istrinya dengan tenang. Meski ketika menyebut nama dokter T, terdengar suaranya agak meninggi.

Ceritanya seperti ini. Kira-kira tanggal 7 April ia didampingi aparat desa mengantar istrinya ke Rumah Sakit Daerah (RSD) Mohammad Anwar Sumenep. Karena ia tidak memiliki kartu jamkesmas, ia membawa Surat Pernyataan Miskin (SPM) yang ditandatangani kepala desa dan camat. Tiba di RSD ia menyampaikan keluhan istrinya. Ia disuruh ke poly kandungan. Di situ, ia di rontgen. Selesai di rontgen, sama perawat ia dan istrinya diminta ke rumah dokter T untuk di USG. Perawat beralasan, fasilitas USG di RSD  rusak (kalau menurut pak Maye dirusakkan, biar pasien bisa datang ke ruang praktek pribadi dokter).

Pak Maye bersama istri akhirnya datang ke rumah dokter T yang tidak jauh dari RSD. Setelah menyelesaikan uang administrasi sebesar 100 ribu, istrinya kemudian di USG sama dokter T.

“pak maye, istri bapak mengidap tumor dalam kandungannya. Cuma saya tidak bisa memastikan, apa tumurnya di luar atau di dalam rahim”, kata dokter T kepada Pak Maye. Pak Maye tidak diberi tahu secara lengkap hasil USG istrinya. Dia cuma diberi sepucuk surat dalam amplop tertutup untuk dibawa ke poly kandungan kembali.

Tiba di poly kandungan, oleh perawat pak Maye diminta kembali ke rumah dokter T. oleh dokter T, istri pak Maye diharuskan operasi.

“Karena praktek saya swasta pak Maye, sebenarnya beaya operasinya mahal, sekitar 8 juta. Tapi karena saya bersimpati sama pak Maye, pak Maye cukup bayar 2,5 juta”, kata dokter T.

“Saya harus ngumpulkan uang dulu pak”, pak Maye menjawab.

“ya sudah..kumpulkan saja dulu. Kalau sudah punya, silahkan bapak temui saya kapan saja”.

Setelah pak Maye berhasil mengumpulkan uang, termasuk dari saudara-saudaranya, ia kembali menemui dokter T. Uang 2,5 juta diserahkan di rumahnya. Tetapi dokter T melakukan operasi di RSD.
 
Hari kamis, 14 april, jam 09.30 istri pak Maye dioperasi. Ia menunggu di luar bersama seorang perangkat desa yang menemaninya.Tidak beberapa lama, dokter T keluar dan tergopoh-gopoh memanggil perangkat desa yang menemani pak Maye. Bersama perangkat desa dokter T masuk kembali ke ruang operasi.

Beberapa menit kemudian, perangkat desa ini pun keluar dan langsung menemui pak Maye.
“kata dokter, istri sampeyan mengidap tomur ganas. Sayang, karena fasilitas di RSD ini tidak lengkap, tumor ganas itu tidak bisa diambil. Dokter T menyarankan, agar tidak terjadi pendarahan, istri sampeyan harus segera dirujuk ke Surabaya”.

Mendengar informasi dari perangkat desa itu, pak Maye kaget campur marah. Hampir saja ia melabrak ke ruang operasi untuk memukul dokter T. Untung ia masih punya kesabaran. Ia memasrahkan semua ini kepada Allah SWT.  Ia tak habis pikir, kenapa dokter T kalau tidak mampu dan di rsd tidak ada fasilitas yang memadai, berani melakukan operasi? Untuk apa hasil rontgen dan USG yang sebelumnya dilakukan?

Melihat pak Maye kebingungan, dokter T dan perawat di situ kembali melakukan tindakan tidak ramah. Malah kata pak Maye, ia dan keluarganya seperti diusir. Dokter T bilang, “cepat ambil keputusan pak, kalau mau dirujuk ke Surabaya, ayo akan saya kasih surat rujukan. Kalau mau dibawa pulang, ya pulang secepatnya”.

Tanpa pikir panjang, pak Maye akhirnya minta surat rujukan. Tetapi karena mencari uang tidak mudah, istrinya baru dibawa ke Surabaya setelah 1 minggu dibedah oleh dokter T. selama 1 minggu, istrinya tetap dirawat di RSD di bawah pelayanan yang tidak ramah. Anehnya, dokter T, selama istri pak Maye dirawat di RSD Sumenep, tidak pernah menampakkan batang hidungnya.

Hari kamis, tanggal 21 april, pak Maye bersama istri dan beberapa keluarga yang menemani berangkat ke Surabaya. Tiba di Surabaya, tomur ganas isrinya tidak bisa langsung diambil, karena dokter di sana masih harus merawat luka akibat dibedah dokter T. Di samping itu, dokter juga  harus memastikan keadaan si ibu, bahwa ia benar-benar sehat. Menurut pak Maye, istrinya selama di RSD Sumenep memang mengalami pendarahan berat. Wajar jika di Surabaya tensi darah istrinya naik-turun. Ini juga alasannya kenapa dokter di sana tidak langsung mengangkat tomur si ibu. Tetapi, Tuhan berkehendak lain, memasuki hari ke-9, istri pak Maye atau ibu murid saya, wafat.

Persoalan klasik

Setelah saya tahu kronologinya, saya coba menghubungi teman yang biasa mendampingi pasien jamkesmas (lihat profilnya, Hadariadi : Pejuang Hak Kesehatan 1.000 lebih Warga Miskin ). Kasus pasien ini oleh pak Hadariadi dkk akan dihearingkan dengan pihak DPRD, RSD, dan Dinas Kesehatan. Sebelumnya kasus-kasus seperti ini agak sering terjadi. Meski pak Hadariadi sering melakukan complain ke pihak RSD, bahkan hearing dengan DPRD dan Dinas Kesehatan, tetap saja peristiwanya terulang kembali.

Menurut pak Hadariadi, satu masalah besar di RSD yang sampai saat makin marak, adalah pungli oleh dokter yang tidak punya hati. Biasanya pasien yang kena, pasien yang harus dioperasi. “Pada hal hak kesehatan pengguna jamkesmas dijamin Negara. Tetapi faktanya mereka masih harus mengeluarkan uang yang jumlahnya besar untuk pasien tidak  mampu seperti yang dialami pak Maye ini” kata pak hadariadi. Pungli ini dilakukan mafia rumah sakit, karena melibatkan pendamping, perawat, dan dokter sendiri.

Satu lagi yang aneh, sangat sering pasien miskin pengguna jamkesmas harus memeriksakan diri di rumah dokter, seperti USG yang dialami istri pak Maye. Karena periksa di rumah dokter, tentu saja harus bayar. Sementara ketika melakukan operasi, obat dan perawatannya dilakukan di RSD. Makanya pak Maye ketika bercerita sama saya berani menyimpulkan, bahwa USG di rumah sakit bukan rusak, tetapi sengaja dirusak atau dibilang rusak. Dengan begitu, pihak RSD punya alasan menyuruh pasien ke rumah praktek pribadi dokter.

Sungguh ironi. Hampir di seluruh sector kehidupan, warga miskin tidak dimanusiakan.  Untuk sehat saja kadang harus ditukar dengan kematian.

2 Responses so far.

Anonim mengatakan...

Innalillah... saya turut berduka cita atas wafatnya ibu teman saya, Abd. Latief, dan matinya hati dokter T itu. Memang RSD Sumenep (dari perbincangan tetangga)tidak ramah saat melayani pasien. Tidak hanya untuk pasien yang menggunakan jamkesmas untuk berobat, yang membayar pun juga mendapat pelayanan tidak nyaman... Semoga catatan Bapak ini benar-benar menjadi renungan.

rampak-naong mengatakan...

terimakasih komentarnya..semoga tulisan ini ada manfaatnya. amien, terimakasih juga doanya. salam