Posted by rampak naong - -

google.com
Waktu saya mengikuti acara di sebuah pesantren di kota saya, pengasuh pesantren ketika memberikan sambutan mengatakan, “kalau dulu pemimpin itu bangun, sementara masyarakatnya tidur. Kalau sekarang malah pemimpinnya yang tidur, sementara masyarakatnya mati”.

Wuih..dalam sekali pernyataan kiai ini. Sangat filosofis. Meski menggunakan bahasa simbol, maknanya sebenarnya terang-benderang. Dawuhnya seakan ingin menegaskan bahwa saat ini telah terjadi degradasi nilai kepemimpinan. Seorang pemimpin yang sejatinya harus menjadi khadim al ummah (pelayan masyarakat) asyik dengan mimpinya sendiri. Ya, saat ini pemimpin kita sedang tidur lelap. Silahkan tanya, dalam keadaan “tidur”, bisakah pemimpin melakukan tindakan sadar?

Yang menarik bagi saya ketika kiai menyinggung sikap ketauladanan yang seharusnya dimiliki pemimpin. Lenyapnya sikap keteladanan ini sangat serius, sehingga kiai menggambarkan masyarakat saat ini “mati”. Suatu penggambaran situasi yang sangat tajam, dimana masyarakat sudah tidak lagi mendengar, melihat, dan merasakan kehadiran pemimpin.

Apa yang disampaikan kiai sepuh di atas sebenarnya wujud dari kegelisahan melihat pemimpin saat ini yang tidak berkarakter. Karakter pemimpin yang seharusnya menjadi tauladan dalam laku dan kata digantikan oleh realitas pemimpin yang menjungkirbalikkan maknanya.

Hilangnya karakter kepemimpinan saat ini meluas. Tidak saja terjadi dalam kepemimpinan formal, tetapi mulai melebar pada pemimpin-pemimpin non-formal. Bahkan dalam beberapa kasus membentuk jaringan patron-klien. Inilah ruwetnya. Dampaknya sangat besar. Saat ini muncul ketidakpercayaan (distrust) masyarakat pada pemimpinnya.

Saya mencatat ada beberapa hal yang bisa dijadikan clue bahwa pemimpin saat ini jauh dari karakter pemimpin yang seharusnya, yaitu:
  1. Tidak memiliki visi yang jelas dan jauh ke depan. Ketiadakan visi ini menyebabkan dua hal. Pertama, pemimpin seringkali terjerembab dalam kepentingan jangka pendek, sesaat, dan rutin. Jika dilihat perdebatan dan “pertengkaran” yang dipertontonkan pemimpin juga didorong oleh kepentingan jangka pendek tadi. Bukan perdebatan dan”pertengkaran” membincang visi atau perdebatan ideologi masa depan bangsa ini. Kedua, ketiadaan visi menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya berada dalam situasi yang gelap, karena tidak tahu kemana pemimpin akan membawa masa depannya.
  2. Sebagai kelanjutan yang pertama, saat ini pemimpin cenderung berjalan sendiri-sendiri. Tak ada kemauan untuk duduk bersama membangun dialog dalam hubungan yang setara. Antar pemimpin lebih suka saling jegal, menjelekkan, menikam, memfitnah, atau menyerangnya dengan kata-kata kasar yang jauh dari kesantunan. Singkatnya, pemimpin saat ini merasa benar sendiri dan mau menang sendiri.
  3. Jika berpikir “orang lain” paling banter pemimpin saat ini sekedar memikirkan “kelompoknya”. Ibarat geng, kesetiaan terhadap kelompok begitu kuatnya. Dalam kesadaran tertancap satu keyakinan, di luar kelompoknya adalah “ancaman”. Maka tak aneh jika realitas kepemimpinan akhir-akhir ini mempertontonkan drama “saling ancam”. Kasus resuffle kabinet, PSSI, hingga teror bom –untuk menyebut beberapa contoh—menjadi bukti saling serang antar kelompok itu riil. Bahkan sudah melebar hingga ke ranah civil society.
  4. Tidak amanah dan tidak bisa dipercaya. Antara laku dan kata begitu senjangnya. Sehingga masyarakat saat ini cenderung menggunakan logika terbalik merespon ucapan pemimpin. Jika pemimpin bilang, “kebijakan ini untuk kesejahteraan rakyat”, justu dibaca secara terbalik sebagai “kebijakan yang menyejahterakan diri sendiri dan kelompoknya”. Logika terbalik memang berbahaya. Tetapi hal ini muncul sebagai akibat, bukan sebab.
  5. Hubbun dunya atau cinta mati sama dunia. KH Musthafa Bisri –dikenal Gus Mus—dalam kolomnya di salah satu media nasional malah mensinyalir hubbun dunya  sebagai akar masalah bangsa ini. Pemimpin-pemimpin kita mempertontonkan simbol kebendaan hasil dari penjarahan dan korupsi, di saat rakyat berada dalam kubangan kemiskinan yang tak kunjung selesai.
  6. Tidak memiliki ideologi kerakyatan yang jelas. Hal ini bisa ditunjukkan oleh hilangnya kepekaan terhadap permasalahan yang dialami oleh rakyat. Malah saya melihatnya para elit seperti membentuk pergaulan yang ekslusif antar sesama elit dan terkesan “sombong” sama masyarakat yang dipimpinnya.
  7. Tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Kekisruhan yang sepertinya tidak ada henti-hentinya dipertontonkan para elit menjadi bukti betapa para elit gagal menjelaskan secara gamblang setiap tindakan yang diambilnya. Bahkan ucapan pun terkadang menggunakan bahasa yang tidak santun dan menyakitkan.
  8. Silahkan tambahkan sendiri...
Nah..wajar jika rakyat mulai “mati rasa” merespon pemimpinnya saat ini. Karena saat ini bertebaran pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki karakter. Atau Pinjam dawuh kiai di atas, pemimpin yang (sedang) tidur. ZzzzzzzzZzzzzzzzzz