Posted by rampak naong - -

Cerita Teman saya dari Betawi
 

dari kanan: jatni, saya, dan bima (anak pertama jatni)
Dulu tahun 1994, waktu saya kuliah di UIN Ciputat pernah ngontrak sebuah rumah yang dihuni rame-rame. Rumah itu juga difungsikan sebagai tempat kajian dan diskusi , nama kelompok kajiannya  Piramida Circle.
Rumah yang kami kontrak  itu milik orang betawi. pemiliknya 5 saudara, karena orang tuanya sudah lama meninggal. Saya bersama teman-teman  akrab sama pemilik rumah. Apalagi kepada Jatni, anak ketiga, seorang jejaka yang lambat nikah. Dua kakaknya sudah lama menikah, kemudian disusul juga sama dua adiknya.  Tinggal jatni yang belum.

Tiap hari jatni seringkali nongkrong di rumah kontrakan kami.  Ia tidak punya pekerjaan. Kebutuhan sehari-hari, terutama makan, dipenuhi oleh saudara-saudaranya. Bayangkan tahun 1995 umurnya sudah 32 tahun, meski face masih kelihatan lebih muda. saya menduga  kenapa ia tidak mau menikah ya..karena factor tidak memiliki pekerjaan tadi.
Ia hanya lulusan SMA. Pernah melanjutkan ke perguruan tinggi tetapi putus. Mungkin karena factor beaya. Pernah beberapa kali ia ikut berhari-hari pemasangan kabel instalasi listrik di bandung. Ketika pulang, lumayan ia memiliki bekal.

Satu hal yang saya peajari dia, kesukaannya berbagi kepada teman-temannya. Termasuk kepada saya. Sering saya ditraktir makan atau dibelikan rokok, jika ia habis bekerja. Hingga tahun 1997, ketika saya memutuskan pulang kampong ke sumenep Madura, ia tetap belum mendapat kerja dan belum menikah. 

Tahun 2001 Saya Ketemu di Malang

 
Pada tahun 2001 saya mendapat beasiswa studi di salah satu perguruan tinggi di Malang. Iseng saya menelpon Jatna (kakak Jatni), yang sudah pindah ke Malang ketika saya masih kuliah di Ciputat. Kebetulan ketika di Ciputat saya memang mencatat nomer telpon rumah kakak di Jatni di Malang.

Suatu hari saya telpon kakak Jatni. Saya kaget tapi juga campur bahagia.
“Cong Day..(di Ciputat saya akrab dipanggil nama itu), Jatni sekarang juga di sini,” kata kakaknya. Ternyata meski 5 tahun saya tidak bertemu dengan Jatni, orang bertawi yang sudah seperti saudara sendiri, sejak kepulangan saya ke Madura, justru kembali dipertemukan Allah di Malang. 

Selama di Malang, jalinan persaudaraan saya kembali tersambung. Jatni sering ke tempat kos saya, dan saya juga beberapa kali ke rumah kakaknya dimana ia tinggal. Di Malang, ia bekerja bantu kakaknya yang membuka cabang jasa pengiriman paket. Setiap hari, ia naik motor menyusuri daerah Malang hingga ke plosok mengantarkan paket atau dokumen. Saya melihat ia sangat menikmati pekerjaannya, sesuatu yang tidak dilakukannya ketika menjadi pengangguran di Jakarta.

Menemukan Belahan Jiwa  

 
Di Malang kehidupan Jatni benar-benar berubah. Jika di Ciputat, dia seperti tidak memiliki semangat sama sekali mencari pekerjaan, di Malang etos kerjanya bangkit. Ia menikmati pekerjaannya sebagai kurir jasa pengiriman paket yang menuntut kesabaran tinggi.

Jika di ciputat ia tidak tidak memiliki kepercayaan diri untuk mencari pendamping hidup, di Malang ia menemukan belahan jiwanya. Proses mendapatkan pendamping hidup bagi saya cukup unik. Ia berkenalan dengan perempuan melalui HT (handy talky) yang dulu pernah popular sebagai media komunikasi.

Ceritanya begini. Ketika masih di Ciputat, di kotrakan saya ada seorang teman  mahasiswa asal makasar, namanya Farid F. Saenong, yang punya HT.  Nah ketika Jatni pindah ke Malang, rupanya ia membawa HT milik teman saya itu. Alasannya sederhana. HT itu bisa membuka akses pertemanan Jatni ketika pindah ke Malang, karena di Malang ia tidak memiliki teman lain, selain kakaknya. berkat HT itulah ia berkenalan dengan seorang perempuan yang akhirnya disuntingnya sebagai istri.

Saat pernikahannya saya datang. Lucu melihatnya. Sebagai lelaki betawi, pertemuan dengan budaya jawa memunculkan keunikan sendiri. Nampak sekali Jatni seperti belum bersahabat dengan pakaian plangkon, keris yang diselip di pinggangnya, atau sampir (sarung perempuan) yang membungkus badan bagian bawahnya. Saya melihatnya kadang ia melepas keris yang terselip di pinggangnya, mungkin karena mengganjal ketika ia duduk.

Saat beberapa bulan menikah rizkinya terus meningkat. Bermula dari kakaknya yang hijrah lagi ke Jakarta, jasa pengiriman paket miliknya diserahkan kepada Jatni, adiknya. Di tangan Jatni, perusahaan jasa ini terus berkembang. Bahkan dalam perkembangannya sampai memiliki 10 karyawan, beberapa motor dan mobil operasional. Bahkan Jatni mampu membeli mobil pribadi.

Tahun 2010 Jatni menghadapi musibah. Sahabat dekatnya yang sama-sama membesarkan perusahaan jasa ini menikam dari belakang. Secara perlahan seluruh asset dikuasai oleh sahabatnya.
Saya mengenal Jatni ini sebagai pribadi yang tabah. Menghadapi kasus ini Jatni tidak membawa ke pengadilan. Ia menyelesaikannya secara cultural. Ketika jalannya mentok, ia pun berhenti dan memilih keluar dari perusahaan yang dikelolanya itu. Bagi dia, semua permasalahan harus dihadapi dengan tabah, dan rizkinya pasti akan diganti sama Allah SWT.

Selama satu tahun ia menganggur di Malang setelah keluar dari perusahaan miliknya sendiri. Tapi saat ini ia  bergabung dengan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang yang sama. Meski gajinya jauh disbanding pendapatannya dulu ketika ia mengelola sendiri, tapi ia kini hidup bahagia dengan istri dan 2 anaknya. Ia percaya, suatu saat Allah akan menggantinya.

Lesson Learned
Ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman sahabat saya asala betawi ini :
Pertama, bagi Anda yang sudah cukup umur menikah tetapi “tidak laku” di daerah sendiri  maka hijrah ke daerah lain mungkin bisa dipertimbangkan.  Termasuk juga jika anda tidak memiliki pekerjaan di daerah sendiri maka hijrahlah.  Hijrah terkadang bisa memunculkan spirit dan etos baru yang tidak dimiliki ketika kita tinggal di daerah sendiri.

Kedua, meski pengalaman sahabat saya ini berbeda dengan tiga pengalaman yang saya posting sebelumnya (dimana sahabat saya ini sudah bekerja sebelum menikah), tapi rizkinya justru berkembang setelah menikah.  Percayalah, meski belum mendapat perkerjaan (yang layak), Allah akan membuka rizki ketika menikah. Istiqomah, jujur, dan sabar sebagaimana yang diperlihatkan oleh sahabat saya ini mungkin adalah kuncinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda terutama yang belum menikah karena belum memiliki pekerjaan (yang layak). Percayalah, rizki Allah jauh lebih luas dari yang kita pikirkan.