Posted by rampak naong - -

google
Seorang  ibu berumur 50 tahun berkunjung ke rumah mertua saya. ia seorang tetangga yang rumahnya berjarak 100 meter. Bersama anak dan cucu yang digendongnya ia  berjalan tergopoh-gopoh.  Wajahnya lusuh.  Seperti menyimpan dendam dan duka.

Sampai di depan pintu ibu itu mengucapkan salam. Mertua saya lengkap membalas salamnya dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah. Saya dan istri ada di ruang tamu sebelah. Sambil “mainin” kompasiana, saya mendengarkan cerita istri bahwa ibu itu di tinggal kawin lagi sama suaminya (55 tahun).

Belum lama istri saya bercerita, dari ruang tamu sebelah suara tangis pecah. Ya…ibu itu menangis di hadapan mertua, anak dan cucunya. Atas dasar simpati istri saya beranjak ke ruang tamu dimana ibu itu menangis.  Namanya tetangga, istri saya juga kenal baik sama ibu itu. Saya sebagai “outsider” tidak enak beranjak ke sana. Saya putuskan saja terus “mainin” kompasiana sambil mengetik tulisan baru yang belum kelar untuk dipublish.

Belum lama istri di ruang sebelah,  dengan linangan air mata ia kembali ke ruangan saya.

“Ba…ibu itu disiksa.”

“Disiksa?,” saya kaget.  Kali ini saya tinggalkan kompasiana dan keinginan nulis. Saya dengarkan cerita istri saya. meski suara ibu itu terdengar ke ruang saya, tapi tidak begitu jelas. Atau mungkin pikiran saya yang bercabang sehingga kurang focus sama suara ibu itu.

“ Ya..disiksa ba. Tiap kali ia berantem, suaminya selalu menggigitnya. Tadi ia memperlihatkan lebam bekas gigitan suaminya di lengan dan pahanya,” kata istri saya sambil tak kuasa menahan tangis.

Terakhir ibu ini berantem ketika tahu suaminya ternyata menikah lagi. Ibu ini tidak terima. Istri mana yang mau dimadu? Saya hanya bisa mengeluh, dasar lelaki. Pada hal pasangan ini sudah memilki cucu. Tapi ternyata rumah tangganya goyah akibat ulah suaminya. Memang saya tahu, pasangan ini sukses berbisnis kayu. Inilah mungkin masalah, kadang-kadang ketika seseorang sukses, seringkali lupa daratan. 

 “Terus…suaminya sudah menjatuhkan talaq tiga,” cerita istri saya lagi.

Ibu itu bercerita ketika berantem suaminya bilang sampai dua kali, “aku talak tiga kamu dik”. Beberapa menit kemudian suaminya bilang lagi “aku talak tiga kamu dik”.  Saya tidak tahu, apakah sang suami ketika mengucapkan itu dalam keadaan marah besar, sehingga ucapannya tak terkontrol?

Setelah marahnya sang suami agak reda, tiba-tiba sang suami mau memeluk istrinya dan bilang bahwa ucapannya tadi keluar tanpa sengaja. Tapi sang istri mendorongnya sambil bilang, “bapak sudah menjatuhkan saya talak tiga.” Kira-kira ibu itu ingin mengatakan, kalau sudah jatuh talak tiga, berdosa bersentuhan –apalagi memeluk—sama istrinya

“ Terus menurut baba gimana, apa talaknya jatuh?,” tanya istri saya.

Karena tidak menguasai masalah itu, saya pun menelpon kawan yang menguasai masalah fiqh (hukum Islam). Kawan pertama bilang, karena langsung bilang talak tiga, maka talaknya jatuh tiga. Itu pendapat yang kuat. 

Sementara kawan yang kedua meski cenderung sama dengan pendapat kawan yang pertama, tapi masih mengutip pendapat ulama yang meringankan. Menurutnya, ulama seperti Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa talak tiga yang diucapkan satu kali (seperti ucapan suami ibu di atas), maka dihukumi jatuh satu. Karena suami ibu menyebut dua kali, meski bilangnya talak tiga, maka talaknya baru dihukumi dua kali. 

Sudah jelas status hukumnya, istri saya kembali ke ruangan tempat ibu curhat. Berdasar pendapat bapak mertua saya, di tambah dua kawan saya, akhirnya membuat  ibu itu dengan sadar memilih ucapan suaminya sebagai “JATUH TALAK TIGA”.

Sebelum pulang, istri saya memberi masukan agar lebam gigitan dan siksaan suaminya di foto saja. Setidaknya digunakan untuk bukti jika di belakang hari ada apa-apa. Juga untuk meyakinkan saudaranya yang sebagian masih percaya sama suaminya. Tapi ibu ini bilang, tidak perlu.

Setelah dirasa cukup, ibu itu pamitan. saya melihatnya dari balik kaca, ia menggendong cucunya dan didampingi anak perempuannya. Saya hanya membayangkan, begitu berat deraan yang dihadapi seorang ibu ini. Di saat orang lain seharusnya bahagia menyambut hari  raya, ia mungkin sibuk memikirkan masa depannya, anaknya, dan cucunya. Semoga Allah memudahkan jalannya. Amien.