Posted by rampak naong - -

diunduh dari goole
Setelah lebaran, sejatinya  hati bersih. Kebersihan hati diperoleh melalui tempaan puasa sebulan penuh. Bulan penuh barokah yang mengajari bagaimana seharusnya manusia membangun relasi dengan Allah, sesama, bahkan alam.

Puasa adalah menahan diri. Mencoba berjibaku melawan nafsu durjana,  tamak,  rakus  dan keengganan untuk berbagi. Dalam usaha menahan diri itu sejatinya  hati, pikiran dan seluruh anggota badan puasa. Ikhlas karena Allah. 

Tetapi entahlah, dalam beberapa kali lebaran saya terjebak pada rutinitas kosong makna. Puasa dan lebaran selesai, selesai pulalah laku spiritualitas saya. kira-kira sama seperti tontonan tv. Di bulan puasa mendadak “alim”, habis puasa kembali lagi ke “alamak…”

Seharusnya habis lebaran kecerdasan saya kian matang. Sejak kecerdasan hati, pikiran, dan tindakan. Sejak membangun hubungan dengan Allah, sesama, maupun alam.  

Dalam beribadah saya masih dalam katagori “terpaksa”. Seperti beban dalam menjalankannya. Jika mendenggar adzan, masih ngedumel dalam hati, “wah shalat lagi nih..” Kalau selesai shalat, beban yang menghempit seperti hilang.  Tentu saja dalam keterpaksaan, tak mungkin saya menemukan kelezatan beribadah. Kenikmatan  tak saya dapati.

Yang lebih parah, saya malah mengukur derajat ibadah saya lebih tinggi ketimbang orang lain di hadapan Allah. Pada hal, itu adalah wilayah bathin yang Allah saja Yang Maha Tahu. Saya seharusnya tidak oleh merasa “sok paling Islam”, “sok paling bertaqwa”, “sok paling diterima di hadapan Allah”. 

Menurut guru saya di kampung, “Nak… ridla Allah itu dirahasiakan. Kita tidak tahu yang mana di antara ibadah kita yang diterima Allah. Kamu ingat kan cerita seorang pelacur? Ia diampuni oleh Allah dan masuk surga karena memberi minuman seekor anjing.”

Ia melanjutkan, Ridla Allah dirahasiakan agar kita selalu berbuat kebaikan. Termasuk berbuat kebaikan yang seolah kecil seperti membuang duri di jalan, agar orang ketika jalan tidak kena tusuk. Juga dimaksudkan agar kita tidak mengandalkan ibadah kita, seolah cocok kepada Allah. Seolah kita paling sempurna. Hebat. Tanpa ridla Allah saya pasti akan menjadi manusia celaka. Naudzubillah.

Terus dengan sesama? Sama. Habis lebaran, berjalan seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah. Jika pada bulan puasa diajari untuk berbagi kepada kaum lemah melalui zakat fitrah, habis lebaran kembali saya kikir. Jika di bulan puasa seluruh anggota badan diajari untuk puasa dari perbuatan buruk, habis lebaran kembali lagi mengumpat, bergunjing, saling serang, kurang menghargai sesama, tidak memartabatkan sesame, dan seterusnya. 

Pada hal sejatinya habis lebaran, saya mampu melakukan transformasi diri. Menjadi orang yang lebih menghargai dan memartabatkan sesama. Dan itu hanya bisa saya lakukan, jika saya menghiasi diri dengan etika. Tapi saya lagi-lagi gagal.

Terakhir, dengan alam? Wah..saya makin tidak peduli. Yang penting isinya saya kuras. Pohon-pohon saya tebang, dan saya tak perlu menanam pohon baru. Yang kecil saja seperti buang sampah, saya tetap saja seperti yang sudah-sudah. Gagal membuang pada tempatnya. Apalagi mendaurulangnya.

Pada hal seharusnya saya berlaku bijak pada alam. Ketikdakseimbangan alam yang belakangan ini tanpa kendali, pasti karena juga disumbang saya. Ah… lagi-lagi saya gagal. Nah..jika saya habis lebaran ini gagal lagi, saya sungguh menjadi manusia celaka.

 Ampunilah ya Allah. Hanya kepada-Mu kepada kami memohon pertolongan.