Posted by rampak naong - -

lazuardibirru.org

Tawuran antar siswa di Jakarta sudah klasik. Di decade 90-an ketika saya kuliah di Ciputat, beberapa kali saya menyaksikan langsung peristiwa tawuran. Bahkan bis yang saya tumpangi pernah dihujani batu oleh segerombolan siswa di kawasan Lebak Bulus, karena kebetulan di bis itu ada siswa sekolah lain. Kaca jendela bis pecah. Suasana dalam bis mencekam. Ada penumpang yang jongkok, ada yang tetap berdiri sambil melindungi kepalanya, dan ada yang teriak hesteris. Untungnya jalanan tidak macet, sehingga bis bisa melaju dengan cepat tanpa terkejar oleh aksi siswa itu.   
 
Pernah suatu siang, polisi di Ciputat mengejar para siswa yang terlibat tawuran dan ketangkap di belakang kos saya. saya kaget, karena di dalam tas mereka berisi senjata tajam seperti obeng, pisau, parang, rantai motor dengan gir di ujungnya, malah ada siswa yang dicelananya terselip samurai. Sungguh tak bisa dinalar, ke sekolah bawa senjata tajam seperti itu.
Konteks Makro
 
Soal tawuran antar siswa di Jakarta tentu tak bisa berdiri tunggal. Jakarta dengan segudang masalah sosialnya, misalnya banyaknya pengangguran, kemiskinan,  tingkat stress yang tingggi akibat persaingan hidup yang ketat, kemacetan, premanisme, dan kesetikawanan social yang memudar sedikit banyak pasti menyumbang terhadap budaya kekerasan ini.  Apalagi pusat kekuasaan juga di Jakarta, dimana para politisinya asyik bertikai kadang justru telanjang dalam ruang sidang yang disiarkan langsung TV.
 
Sebenarnya soal tawuran bukan khas Jakarta. Di beberapa daerah di Indonesia, bahkan di tingkat kota/kabupaten seperti kota saya, terkadang tawuran muncul. Saya menduga ini ada hubungannya dengan desain pendidikan kita yang cenderung menagungkan angka dan prestasi akademik. Pendidikan karakter yang mendorong siswa untuk berprilaku humanis, kurang mendapat tempat dalam desain pendidikan kita.
 
Tak bisa ditolak bahwa sekolah sekarang menjadi gedung mati yang membekukan ketajaman nurani. Para siswa dibekap dalam desain pendidikan yang sepenuhnya abai terhadap konteks social-budaya di luar sekolah. Ruang sekolah menjadi ruang asing, yang justru mengajari sesuatu yang kadang berbeda dari ruang social budaya di luarnya. Jangan disalahkan jika siswa juga menjadi asing. Seolah hidup tak berjejak, karena lepas dari nilai-nilai luhur social-budaya masyarakatnya sendiri.
Sebuah Tawaran
 
Tetapi sekolah tak bisa cuci tangan dengan menunjuk hidung di luar dirinya sebagai akar masalah. Saya rasa sekolah harus melakukan refleksi ketika siswanya selalu terlibat dalam siklus tawuran. Berarti dalam sekolah sendiri harus ada yang perlu dibenahi. Setidaknya, pendidikan karakter masih belum menjadi pengalaman hidup keseharian sehingga belum terinternalisasi dalam diri siswa.
 
Dalam kasus siklus tawuran ini, saya mengajukan beberapa tawaran yang mungkin bermanfaat bagi sekolah. tentu hal ini tidak bisa dilakukan secara instant, tetapi harus berkelanjutan dan konsisten dengan dukungan penuh masyarakat sekolah, terutama kepala sekolah dan para guru. Tawaran saya sebagai berikut :
  1. Bikin fakta integritas “ Hidup Damai Tanpa Kekerasan” yang disepakati semua masyarakat sekolah. Sekolah perlu mengumpulkan semua tenaga pendidik dan kependidikan, para siswa, dan para wali siswa, kalau perlu para alumni dalam satu momen khusus untuk menyepakati fakta integritas ini. 
  2. OSIS perlu didorong untuk menjadi motor bagi kegiatan-kegiatan ekskul tentu saja dengan mempertimbankan keragaman minat dan bakat siswa.
  3. Sekolah perlu melakukan identifikasi terhadap pentolan siswa yang suka tawuran. Ajak mereka dialog tentang masalah-masalah yang menjadi akar tawuran, kenapa terjadi, bagaimana polanya, apa dampaknya bagi siswa sendiri, sekolah, dan masyarakat umum, dan bagaimana menurut suara mereka cara menghentikannya.
  4. Libatkan mereka dalam kegiatan ekstrakuler. Sekali-kali tunjuk mereka menjadi kepanitian dalam kegiatan-kegiatan osis. Tetapi carilah ekstrakuler yang berbasis kebutuhan mereka, yang sesuai dengan minat dan kesenangan mereka. Kadang masalahnya mereka kurang dimartabatkan saja, sehingga mereka juga memunculkan sikap-sikap yang juga tidak bermartabat.
  5. Sekolah perlu memasukkan nilai-nilai humanis dalam proses pembelajarannya. Nilai-nilai kesetiakawanan social, tenggang rasa, penghormatan kepada sesama, persaudaran, tanggung jawab social, dsb. Nilai-nilai ini tak bisa diserahkan hanya kepada guru agama atau PKn, tetapi harus diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan disepakati oleh semua guru.  
  6. Para guru harus memberikan pengalaman hidup tentang nilai-nilai humanis di atas melalui ketauladanan secara langsung. Ketika istirahat sering-seringlah guru bersama siswa dengan mengajaknya ngobrol, bertegur sapa dalam suasana humanis dan penuh keakraban. Bukan malah ketika istirahat duduk-duduk di ruang guru sambil ngobrol hal yang tak terkait dengan pendidikan.
  7. Perlu para siswa [melalui OSIS] dan para guru di sekolah yang saling “bermusuhan” saling berkunjung atau mengadakan kegiatan bareng yang sifatnya saling berbagi, bukan kompetesi. Entah menanam pohon bareng atau kegiatan santunan bagi anak panti asuhan. Sebaiknya jangan mengadakan persahabatan olah raga, karena ketika kalah salah satu sekolah biasanya menjadi pemicu keributan. 
  8. Kemendikbud bekerja sama dengan kepolisian bisa membentuk Task Force yang anggotanya berasal dari berbagai sekolah. Satuan tugas gabungan berbagai sekolah ini menjadi kekuatan pencegahan dini terhadap aksi-aksi tawuran yang akan muncul.
  9. Sekolah perlu merawat secara permanen hubungan dan kerjasama dengan wali siswa. selama ini para wali biasanya hanya diundang ketika mau pihak sekolah mau mengutip sumbangan atau ketika penerimaan rapor.
  10. Sekolah perlu membangun kerjasama dengan alumni dalam menyelesaikan kasus tawuran ini. Organisasi alumni juga harus melakukan pendataan terhadap kemungkinan anggotanya yang menjadi aktor intektual siklus tawuran ini.

Semoga silus tawuran yang belakangan ini marak kembali segera menemukan solusi. Semua pihak perlu merapatkan barisan untuk menyumbang perannya dan tidak membiarkan sekolah berjalan sendiri. Satu lagi, siklus tawuran ini tak bisa lagi dianggap enteng.
 
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 27 september 2012