Posted by rampak naong - -


Ba…cepat…tetangga kita katanya sudah lemas tak bergerak”, kata istri saya mengabarkan seorang tetangga yang kondisinya kritis. Segera saya menutup pintu rumah dan menyusul istri yang berangkat lebih dulu. Hampir tiba di rumah tetangga itu, saya berpapasan dengan seorang bapak yang mengatakan bahwa tetangga saya sudah meninggal. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Begitu cepatnya.

Tiba di rumah duka, suara isak tangis pecah. Setiap orang yang hadir tak kuasa, semua larut dalam kedukaan. Di lantai beranda rumah, istri almarhum duduk sambil dibekap dalam dekapan ibu-ibu yang mendampinginya. Tetap saja suara tangisnya tak terhenti. Tak jauh dari istrinya, nampak anak laki-laki almarhum berusia 13 tahun. Matanya sembab. Ia menangis dalam posisi jongkok, seakan tak percaya sama peristiwa yang baru dialaminya.

Itulah suasana di rumah duka. Tetangga saya dan teman semasa kecil saya, wafat secara mendadak jam 16.00 [26/9] dalam usia yang masih relative muda, 39 tahun. Keluarga, tetangga, dan para sahabatnya seakan tak percaya. Bapak dua anak ini meninggal ketika baru tiba di rumah dari tugas mengajarnya. Bahkan jam 10.00 wib pagi harinya, almarhum masih sempat datang menyalati tetangga yang lebih dulu meninggal. Saat itu, ia masih nampak bugar. Bahkan masih sempat bercanda dengan tetangga lainnya.  

Makin sore, para tetangga makin banyak. Semua yang datang mengambil tempat dalam kedukaan. Yang laki-laki langsung menuju jenazah. Sekedar membaca alfatihah atau melantunkan surah yaasin. Para ibu-ibu menyambangi perempuan muda, istri almarhum, untuk menguatkan kembali keseimbangan psikologisnya, bahwa ia tidak sendiri. Seorang laki-laki bergerak ke arah anak laki-laki almarhum. Menarik tangannya agar beranjak dari jongkoknya, mengusap kepalanya, dan menuntunnya ke kamar mandi untuk mengambil wudlu’.

Sehabis wudlu’ anak itu nampak lebih menguasai emosinya. Ia mendekat ke arah jenazah ayahnya. Sambil menahan sisa isak tangisnya, ia lamat-lamat membaca surah yasiin. Belum selesai membaca surah yasiin, HP almarhum yang dipegangnya berdering. Ada suara seorang laki-laki yang menanyakan ayahnya. Anak ini menjawab, “eppa’ sobung pon, adinggal [Ayah saya sudah tiada, meninggal]”. Saya yang mendengar jawaban anak ini tersekat. Tak kuasa menelusurkan empati ke dalam ruang bathinnya. Ke ruang duka terdalamnya. 

Saya melihat keluarganya begitu terpukul. Almarhum meninggalkan istri bersama dua anaknya. Satu laki-laki berusia 13 tahun, satu perempuan berusia 4 tahun. Jangankan keluarga, para tetangga dan sahabat almarhum sangat kaget. Saya bertemu terakhir dengan almarhum kira-kira seminggu sebelum meninggal. Ia masih bugar. Ketika itu almarhum sedang ikut menyelesaikan pembangunan ruang kelas baru di madrasah tempat saya mengajar.

Tetapi itulah rahasia kematian. Pagi hari menyalati orang meninggal, sore hari giliran dirinya yang meninggal. Jika Allah berkehendak, tak ada seorang pun yang bisa menahannya. Kematian adalah rahasia Allah. Hanya Dia yang Maha Tahu. Yang ditinggal boleh berduka, kaget, atau terpukul. Cuma kata tetangga, bisa jadi almarhum begitu lapang menghadap-Nya. Karena prosesnya begitu cepat. Dalam beberapa kasus, justru ada orang yang meninggal didahului oleh sakit yang menyayat atau mengalami kesulitan ketika menghembuskan nafas terkahir. Kata guru saya, ketika Malaikat mencabut nyawa, menarik roh dari badan, sakitnya tak kepalang. Sakitnya melebihi tancapan pedang yang dicabut dari badan.

Seorang teman pengajian RT berbisik pada saya, sebaiknya pada pengajian rutin RT mendatang perlu membahas kemungkinan biaya pendidikan dua anaknya ditanggung jamaah pengajian RT. Dua anaknya yang masih yatim, bukan hanya tanggung jawab keluarganya, tetapi juga tanggung jawab tetangga. Apalagi keluarga almarhum memang berasal dari keluarga sederhana. Allahummaghfirlahu warhamhu.
Semoga kita meninggal dalam keadaan khusnul khatimah.