Posted by rampak naong - -



Kemarin saya diundang Mahasiswa yang sedang KKN untuk membedah buku saya yang terbit sebulan lalu, Rahasia Perempuan Madura.  Pesertanya anak-anak muda, kebanyakan remaja putri. Tempat diskusinya di sebuah balai desa yang ukurannya tidak terlalu besar.

Saya senang sekali melihat pesertanya rata-rata anak muda. Momen ini saat yang tepat untuk mengampanyekan “gerakan cinta budaya sendiri” kepada anak muda, di tengah panetrasi budaya global yang kian mengeringkan makna hidup. Kebetulan buku saya seluruhnya memang hasil refleksi terhadap kearifan lokal masyarakat Madura.

Ketika acara dialog, banyak yang mengkritik judul buku saya. Mereka menduga buku saya –sesuai judulnya—menjelaskan tentang perempuan Madura secara utuh. Pada hal judul buku hanya diambil dari satu tulisan saya. Selebihnya, 23 tulisan, menjelaskan tentang tema lain. Tapi saya harus berlapang dada menerima kritikan itu.

Dalam acara dialog, sambil bertanya ada seorang peserta yang mengutip kearifan lokal masyarakat Madura, rizkina pengeran tak kera taorop (secara harfiah, rizki Tuhan tak mungkin tertukar). Mendengar kearifan local ini saya tercengang. Meski saya pernah mendengar sebelumnya, tapi saya sudah lupa. Saya menyimak ungkapan ini memiliki makna yang sangat mendalam.

Penanya ini menjelaskan bahwa ia mendengarnya dari penjual rengginang. Di Sumenep –tepatnya di Parenduan, sebuah desa yang menjadi jalur lalu lintas Surabaya-Sumenep—banyak berjejer warung cemilan khas Madura yang menjual rengginang. Warung ini berjejer memanjang seakan berebut rizki melalui pembeli.

Meski banyak saingan, seorang pedagang rengginang tidak takut bersaing. Ia menjalani usahanya dengan kesabaran. Meski banyak saingan, Tuhan Maha Pemurah. Jika kebetulan rizkinya, ia meyakini rizki itu tidak akan jatuh ke tangan pedagang lain. Jika bukan rizkinya, ia pun sabar, bukan waktunya Tuhan menganugerahi rizki. Itulah makna ungkapan pedagang rengginang tadi, rizkina Pangeran tak kera taorop, Rizki Tuhan tidak mungkin tertukar.  

Mungkin ada yang memaknai ungkapan ini sikap fatalistik. Menyerah kepada nasib. Atau ungkapan sekedar menenangkan diri dalam kompetisi hidup yang kian sengit. Tapi bagi saya tidak. Ungkapan ini memiliki filosofi yang demikian dalam. Setidaknya saya mencatat beberapa hal :
  1. Ungkapan penjual rengginang tadi sebagai wujud dari keyakinannya bahwa yang mengatur rizki adalah Allah SWT, bukan manusia. Manusia hanya diminta berusaha dan bekerja. Tentu dengan sepenuh hati dan ajeg (istiqamah). Tentu dengan cara-cara yang baik dan halal. Soal rizki, sekali lagi, Allah yang mengatur
  2. Berusaha dan bekerja butuh kesabaran. Tidak ada kesuksesan yang instant. semua butuh proses. Orang yang sabar akan menyediakan diri “keluasan dadanya” untuk menampung segenap kegetiran hidup, kegagalan, bahkan ketika diberi nikmat rizki agar tidak terjerembab pada sikap sombong. Dalam kesabaran, kejernihan berfikir dan kebeningan bertindak akan ditemukan.
  3. Sebagai makhluk, kita perlu berbaik sangka kepada Allah. Jika Allah belum menganugerahi rizki, tak perlu kita berburuk sangka kepada Allah misalnya, dengan mengatakan Allah tidak adil, Allah tidak sayang, dan seterusnya. Allah Maha Tahu kapan waktu yang tepat rizki-Nya akan dianugerahkan.
  4. Hindari menganggap orang lain selalu dalam posisi saingan yang ingin merebut rizki kita. Cara ini adalah juga usaha untuk menutup diri akan hadirnya sifat tercela misalnya, iri dan dengki kepada orang lain. Mending perbaiki diri, apa kekurangan yang ada pada kita ketimbang selalu mengalamatkan kesalahan kepada orang lain.

Nah, bukankah ungkapan rizkina Pangeran tak kera taorop yang didengar penanya dari penjual regginang tadi sangat dalam maknanya? Ternyata hikmah berserakan dimana-mana, bahkan orang kecil kadang memiliki mutiara berkilau. Malu saya.

Matorsakalangkong
Pulau Garam | 27 Maret 2013