Posted by rampak naong - -

artikel-populer.blogspot.com


Tulisan ini terinspirasi sama tulisan sahabat saya yang bermukim di Dubai, Kang Mukti Ali. Ia menulis tentang boleh tidaknya orang berjenggot kerja di hotel. Saya pun menulis komentar sama tulisan kang Mukti. Dalam komentar singkat itu saya mengkatagorikan jenggot dalam dua tafsir, yang ideologis dan yang cultural. Tulisan ini hitung-hitung sebagai penjelasan terhadap komentar singkat saya atas tulisan kang Mukti. 

Jenggot belakangan ini bukan masalah sederhana. Bukan sekedar urusan bulu yang dibiarkan menggantung di dagu. Jenggot melampaui batasan itu. Jenggot telah memasuki arena kontestasi ideologis. Lebih-lebih setelah serangan WTC atau yang biasa dikenal dengan serangan “11 september” beberapa tahun lalu di Amerika.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas itu. Saya hanya tertarik untuk menjelaskan ragam tafsir soal jenggot. Tentu ragam tafsir ini bisa jatuh terhadap simplikasi atau penyederhanaan. Atau saya menariknya terlalu jauh. Saya mohon maaf. Hitung-hitung tulisan adalah cara saya merayakan jenggot lebat, yang kebetulan saya tidak punya. Dalam dagu saya hanya terpajang beberapa biji jenggot yang kalau dibiarkan akan menjadi tertawaan orang.

Tafsir Jenggot

Saya menafsirkan jenggot dalam tiga katagori. Saya menyebutnya jenggot ideologis, jenggot cultural, dan jenggot sekedar tren. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
  1. Jenggot ideologis. Jenggot ini adalah jenggot yang memeliharanya dikaitkan dengan ideologinya. Jenggot dalam konteks ideologis ini tidak sekedar dianggap sebagai sunnah memiliharanya karena mengikuti tradisi Rasulullah, tetapi juga sebagai pembeda. Pembeda di sini menjadi garis damarkasi dengan kelompok lain. jadi jenggot kira-kira tampil sebagai simbol bahwa pemeliharanya berasal dari ideologi tertentu. Tentu simbolnya tidak sekedar jenggot, tetapi ada simbol-simbol lain yang mudah dilihat bahwa ia menganut ideologi tertentu. Jadi jenggot hanya salah satunya.
  2. Jenggot cultural. Jenggot jenis biasanya dipelihara oleh orang yang meyakini bahwa memeliharanya adalah sunnah Rasul. Saya memaksudkan cultural di sini sebagai praktek berjenggot yang tidak idologis. Dalam pengertian ini, berjenggot bukan sebagai pembeda dengan kelompok lain. jenggot juga tidak merupakan simbol dari perjuangan terhadap ideology tertentu. Barangkali orang yang berjenggot hanya sekedar senang –meski tidak dikaitkan dengan sunnah Rasul—bisa dikelompokkan dalam katagori ini.
  3. Jenggot Sekedar tren. Masih ingatkah Anda sama jenggot Del Piero, pemain klub Juventus, yang dulu pernah menjadi tren? Ya. Jenggot yang jambul di dagu serta tipis di kanan-kiri yang menjadi penyambung dengan kumis. Dagu dan bibir pemiliknya seperti dilingkari oleh rambut. Nah, ketika saya masih kuliah banyak tema-teman saya yang menirunya. Bahkan karena begitu trennya dipaksakan. Dengan modal jenggot dan kumis yang bisa dihitung dengan jari, teman saya memaksakan sama seolah-olah seperti jenggot Del Piero. Atau di kalau Indonesia jenggot model Ahmad Dhani. Jenggot model ini juga pernah menjadi tren. Banyak anak muda yang menirunya.

Itulah tiga ragam tafsir soal jenggot yang saya tegaskan bisa jadi saya jatuh sama simplikasi atau saya terlalu mendramatisir. Tetapi yang penting, meski alasan jenggot tidak sama, penghargaan sebagai makhluk harus sama, sama-sama memuliakan.

Saya juga menolak cara-cara orang tertentu yang begitu paranoid sama orang-orang berjenggot. Berjenggot seolah berbahaya. Tetapi saya juga jengah sama orang berjenggot yang suka mengumbar bid'ah dan sesat.  Ups...saya pikir, orang itu harus dilihat perbuatannya. Bukan jenggotnya. Selama baik dan memuliakan sesama, berjenggot kenapa tidak?

Nah…bagi yang punya jenggot silahkan mikir-mikir, apakah jenggot Anda masuk yang ideologis, cultural, atau sekedar mengikuti tren? Kalau cuma dua biji, tidak perlu memaksakan diri, ya? He…he…he…

Matorsakalangkong
Sumenep, 1 juni 2012