Posted by rampak naong - -



Sekarang Sumenep pantas disebut daerah yang mengalami "darurat agaria". Sudah lebih 500 hektar tanah lepas ke tangan investor. Pemeritah daerah seperti santai menghadapi soal ini, malah terkesan membiarkan atau membela kepentingan investor. Tulisan singkat berikut ini menyoal SUMENEP DARURAT AGRARIA. Agar mudah, tulisan ini ditulis dengan gaya tanya jawab. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan pelengkap bagi sahabat-sahabat yang terus menyuarakan isu agraria ini. Semoga bermanfaat (adz).

Sejak kapan Sumenep mengalami "Darurat Agraria"?

Sejak 2 tahun terakhir hingga sekarangpun Sumenep mengalami darurat agraria. Tanah tanah searah besar besaran terjual kepada investor luar dan lokal. Nyaris sepanjang pantai sejak kecamatan Bluto, Talango, Gap1ura, Dungkek, Batang-Batang, Batuputih, Dasuk sudah dikuasai investor. Dan di pesisir pantai kecamatan Ambunten dan Pasongsongan terjadi penjarahan pasir yang sudah memberikan nampak sosial , budaya dan lingkungan.

Apa yang terjadi di Sumenep sebenarnya merupakan fase lanjut dari pembangunan Jembatan Suramadu, infrastruktur yang memang dirancang sebagai karpet merah bagi kapitalisme.

Berapa jumlah tanah yang sudah dikuasai oleh investor?

Data hasil investigasi majalah Fajar Instika Annuqayah (2016)  merilis sudah sekitar 500 hektar tanah yang lepas ke tangan investor se kabupaten Sumenep. Sementara dalam perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) N0 12 Tahun 2013 menyebutkan bahwa tanah yang disediakan ke pihak investor untuk pembangunan tambak berjumlah 1.723 ha. Ini aneh, sepertinya lepasnya tanah sebenarnya sudah didesain dalam perda. Ada spekulasi, pembuatan perda RTRW sangat mungkin dipengaruhi investor. Melihat massifnya akuisisi tanah oleh investor, bisa saja jumlahnya saat ini yang pindah ke tangan investor lebih dari 500 hektar.

Untuk apa tanah itu diperuntukkan ?

Tanah sepanjang pantai oleh investor dibangun tambak udang. Yang sudah mendapat ijin ada 4 perusahaan, di andulang gapura, lapa daje dungkek, lombang batang-batang, dan kerta timur dasuk. Sementara pembangunan tambak lainnya terus berlangsung meski tidak memperoleh ijin seperti di talango, dan Gar Bato serta Pakandangan di Bloto.

Sebagian lagi untuk pengembangan wisata seperti daerah  Badur dan Batuputih Deje kecamatan Batuputih. Investasi pariwisata diyakini akan membanjiri kabupaten Sumenep karena potensi wisata sumenep memang luar.

Untuk bagian timur kabupaten Sumenep akan dikembangkan pariwisata segi tiga mas dengan pelabuhan Dungkek sebagai akses transportasi baharinya.  Pariwisata segi tiga mas itu meliputi badur dan lombang - giliyang - gili labak. Dan mungkin meluas hingga Pantai Sembilan, kawasan wisata yang baru ditemukan di Pulau Giligenteng, dimana perusahaan migas PT Santos beroperasi.

Ada spekulasi Sumenep merupakan wilayah yang menyimpan potensi migas luar biasa. Baru-baru ini media damai memberitakan ditemukannya ladang migas di kecamatan Pasongsongan dan Manding ketika warga menggali sumur untuk memenuhi kebutuhan airnya. Yang keluar bukan air, malah migas.

Tetapi lepas dari ada tidaknya potensi migas, penguasaan pesisir oleh investor asing atau lokal secara ekonomi politik di masa depan, menurut salah seorang kyai muda, akan sangat menguntungkan. Apalagi jika dihubungkan dengan peta geopolitik dunia dan makin menguatnya kekuatan kapitalisme ekstraktif saat ini.

Pada hal dalam sejarah kolonialisme, lanjut kyai muda, tak pernah pesisir Madura sepenuhnya ditembus oleh penjajah. Pesisir Madura kuat karena dikuasai oleh persekutuan dua suku  pemberani di laut, yaitu suku Madura dan Bugis. Dengan demikian pesisir adalah pertahanan. Rupanya investor entah asing atau lokal menggunakan strategi makan bubur untuk menjarah madura, makan dari pinggir alias kuasai pesisir.

Apa dampaknya bagi warga?

Secara ekonomi penguasaan tanah oleh investor dalam jumlah besar besaran akan mengakibatkan warga kehilangan alat produksinya. Mereka akan terasing di daerahnya. Tidak lagi menjadi subyek tetapi menjadi obyek dari proses produksi yang sepenuhnya dikendalikan investor. Dengan bahasa sederhana, warga akan menjadi kuli di daerahnya sendiri.

Jika bukan kuli, pilihannya warga menjadi pengangguran hingga akhirnya terserap ke dalam pilihan-pilihan pekerjaan yang sepenuhnya memerlukan ilmu dan keterampilan baru. Atau pilihan lain akan memilih merantau. Pendeknya, jika sepenuhnya alat produksi dimiliki oleh investor cepat atau lambat akan terjadi proses pemiskinan warga.

Sebagai dampaknya, kesenjangan ekonomi tak terhindarkan. Kesenjangan antara si kaya yang menguasai sumber-sumber ekonomi (termasuk tanah) dengan umumnya para warga akan terus melebar. Saat ini saja, 1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen aset nasional (kompas, januari 2017).

Secara sosial, kehadiran industri akan mengakibatkan relasi sosial sebagaimana biasa terjadi dalam masyarakat pedesaan akan mengalami perubahan. Kehidupan yang guyub, intim dan penuh gotong-royong akan tergantikan oleh kehidupan yang impersonal, individuaslitik dan transaksional. Kehadiran industri akan menghabisi nilai-nilai keguyuban masyarakat pedesaan secara total. Terasa sudah, konflik antar warga sudah mulai muncul mengiringi pro kontra kehadiran investor.

Secara budaya, hilangnya tanah yang diiringi oleh industri akan meminggirkan tradisi-tradisi yang selama ini menjadi benteng sekaligus strategi cerdas melawan kapitalisme global oleh masyarakat pedesaan di Madura. Kalau pun tradisi itu ada dalam masyarakat industri maka tradisi sekedar diawetkan dan dijinakkan untuk kepentingan industri atau kapitalisme.

Secara keagamaan juga akan memberikan  pengaruh karena industri akan memerangkap manusia ke dalam jebakan rasionalis-positivis yang sepenuhnya menghamba pada nilai-nilai dangkal yang bersifat material. Spiritualitas dengan demikian akan ditampik.

Sementara dampak yang sekarang dihadapi warga sudah mulai terasa. Di lokasi industri tambak, para warga sudah tidak leluasa pergi ke manapun mereka suka. Karena akses jalan sebagian sudah ditutup oleh tembok luas pertambakan. Misalnya di desa Andulang Kecamatan Gapura dan Lapa Daya Kecamatan Dungkek, masyarakat nelayan sudah harus memutar untuk pergi ke laut, karena akses terdekat ke laut sudah terhalang tembok area tambak. Belum lagi limbah yang bau dan kotor yang dibuang ke laut akan menyebabkan ikan mati atau pergi. Dan tentu saja hal ini mengganggu mata pencaharian para nelayan.

Bagaimana Modus Pelepasan Tanah?

Jual-beli tanah tidak seperti jual-beli ikan di pasar tradisonal. Kesepakatan di pasar tradisonal dilakukan secara suka rela. Sementara pelepasan tanah melibatkan kekuatan struktural dan modal. Dari fakta yang terhimpun, dari semua desa yang sekarang tanahnya ludes, proses pelepasannya selalu melibatkan orang-orang kuat mulai sejak tokoh masyarakat, aparat desa (bahkan hingga lembaga di atasnya), jagoan, mafia dan makelar tanah yang bekerja secara sistematis dan terstruktur. Tentu warga menghadapi kekuatan pro investor seperti itu tak berdaya. Bisa ditebak, akhirnya tanah-tanah mereka dilepas. Meski saya tidak mengingkari bahwa ada juga  yang dijual dengan sukarela.

Siapa yang (paling) harus bertanggungjawab?

Semua. Tokoh masyarakat harus mengkampanyekan kenapa harus memelihara "tana sangkol" sambil mendorong agar tanah disyukuri dengan cara menanaminya.

Anak-anak muda perlu mengkonsolidasikan diri dan memiliki kepekaan menjaga tanah dan buminya. Syukur kalau ada gerakan petani muda. Apalagi konflik agraria ke depan saya yakini akan makin menguat. Jika anak muda diam, jangan mimpi merawat madura.

Tapi yang paling bertanggungjawab ya pemerintah, dalam konteks lokal pemerintah daerah. Kenapa? Karena pelepasan tanah melibatkan kekuatan terstruktur dengan melibatkan pemodal, kekuasan, jagoan, mafia tanah dsb. Tentu kekuatan ini tidak bisa hanya dihadapi masyarakat pemilik tanah.

Maka pemerintah harus hadir dengan membuat regulasi yang tegas dalam melindungi tanah warga tanpa melakukan pelanggaran terhadap hukum di atasnya. Bukan malah mendiamkan atau mencari alasan HAM untuk membenarkan kekuatan terstruktur di atas gentayangan menghabisi tanah rakyat.

Saya melihat pemerintah daerah tidak serius menyikapi soal ini. Atas nama investasi, pemerintah daerah seperti memihak kepada pemodal. Atas nama pertumbuhan ekonomi, pemerintah daerah tidak pernah menghitung ongkos sosial-ekonomi-budaya yang akan dihadapi rakyat ke depan.

Yang merespon isu agraria ini juga kyai sepuh. Tercatat ada pertemuan para kyai yang dihadiri bapak bupati di Kecamatan Saronggi (saya lupa tanggalnya) yang salah satu rekomendasi meminta pemda secepatnya membuat regulasi untuk menyelamatkan tanah rakyat. Tapi rekomendasi ini juga menguap.

Bukan hanya eksekutif, legislatif juga tak menaruh perhatian terhadap isu ini. Pegiat agraria yang tergabung di BATAN (Barisan Ajaga Tana Ajaga Na' Poto) yang merupakan gabungan lembaga-lembaga; Ansor, LPBHNU, LPPNU, KEN, FNKSDA, Yayasan Berkah Bumi) dua kali mengirim surat audiensi, sudah 3 bulan belum ada jawaban.

Lalu?

Sepertinya rakyat harus berjuang sendiri. Dan sekarang sudah mulai. Tanggal 13 Januari 2017 kemarin, masyarakat Batuputih Daya Kecamatan Batuputih mengadakan Rokat Desa yang menolak investor masuk untuk mengembangkan wisata Batu Toabang, tentu saja dengan menyasar tanahnya. Rokat Desa itu dihadiri ribuan warga. Rokat Desa itu sebenarnya mengirim pesan, pemerintah saatnya merespon darurat agraria.

Matorsakalangkong
Pulau Garam l 24 Januari l 2017