Posted by rampak naong - -



Kasus NYIA di Kulonprogo dimana warga dipaksa untuk mengosongkan kampungnya makin memperpanjang konflik agraria di negeri ini. Negara, dengan segenap aparatusnya,  yang seharusnya hadir memartabatkan keadilan bagi rakyat justru mempertontonkan sikap sebaliknya. Negara lebih berfungsi sebagai panggung bagi kepentingan pemodal. Bahkan kadang menjalankan kepentingan modal sendiri, meski harus menguliti keadilan bagi rakyatnya.

Persoalan agraria makin mempertajam ketimpangan di negeri ini. Melihat data ketimpangan sungguh sangat mengerikan. Dalam Munas NU di Lombok baru-baru ini merilis bahwa, " Kekayaan dimonopoli segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, dan obligasi pemerintah. Menurut World Bank (2015), Indonesia adalah negara ranking ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand. Gini rasio mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,64. 1% orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, 0,1% pemilik rekening menguasai 55,7% simpanan uang di bank. Sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya dikuasai 25 perusahaan sawit. Jumlah petani susut dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani yang terpuruk karena penyusutan lahan dan hancurnya infrastruktur pertanian. 15,57 juta petani tidak punya lahan".

Persoalan agraria saat ini juga menjadi persoalan krusial di Sumenep dua tahun belakangan ini. Sejak akhir tahun 2015/awal 2016 ratusan hektar lahan di Kabupaten Sumenep  sudah dikuasai investor. Hingga detik ini penguasaan lahan baru dan upaya menguasai lahan baru oleh investor terus berlanjut, terutama di pesisir utara, misalnya di Lombang dan Badur, dua kawasan wisata yang ada di Sumenep. Begitu juga upaya penguasaan lahan baru menyasar di lokasi wisata lainya semisal di pulau Giliyang, Kecamatan Dungkek.

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya atau banyak liputan media, lahan-lahan itu dialihfungsikan menjadi tambak udang. Tercatat ada 4 tambak udang yang diberi ijin oleh pemda, meski alih fungsi lahan tersebut jelas-jelas menyalahi perda RTRW. Sementara lahan-lahan lain dibiarkan bisa jadi karena belum jelas peruntukannya atau belum keluar ijinnya. Yang pasti di lahan-lahan itu suatu saat akan dibangun entah tambak atau infrastruktur pariwisata yang akan dicanangkan secara massif tahun 2018 ini.

Habisnya lahan di Kabupaten Sumenep, tanpa menafikan yang pro, menuai tanggapan kritis dari banyak kalangan, termasuk kiai sepuh. Pernah di hadapan Kades di Pendopo Kabupaten Sumenep tanggal 18 Juli 2016, Almarhum KH. Basyir AS dan KH. Thaifur Ali Wafa mewanti-wanti agar lahan-lahan tidak dijual kepada investor luar. Pertemuan ini digagas oleh pemda yang justru pada saat bersamaan membiarkan lahan rakat tak dilindungi dan mempermudah proses alih fungsi lahan.

Dalam salah satu pertemuan, KH. Ma'ruf, Rois Syuriah MWC NU Gapura menyebut bahwa penguasaan lahan dengan membangun industri hari ini  tidak beda dengan VOC yang dulu datang untuk maksud berdagang, tetapi pada akhirnya menjajah. Satu sindiran bagi kita agar kuat iman terhadap rayuan untuk melepas lahan. Dan sindirin juga bagi investor dan penguasa yang selalu meneriakkan "pembangunan" meski kita tidak jelas secara sfesifik untuk kepentingan siapakah sebenarnya pembangunan itu.

KH Muhammad Shalahuddin yang akrab dipanggil Kiai mamak menyebut bahwa penguasaan lahan sepanjang pesisir adalah bentuk kekalahan Madura secara geo-politik dan geo-ekonomi. Penguasaan lahan sepanjang pesisir oleh investor menunjukkan kecerdasan geo-strategi lawan dalam rangka menguasai Madura. Menurut beliau, siapapun yang menguasai pesisir di masa depan akan menang secara geo-politik. Beliau melukiskan penguasan Madura melalui pesisirnya ibarat orang makan bubur, tinggal menunggu saja lambat laun penguasan  lahan akan terus beranjak ke tengah. Suatu waktu Madura akan habis tersapu.

Ketika Hari Santri, 22 November 2017 kemarin, PCNU Sumenep juga sudah mengeluarkan maklumat agar pemda segera mencari jalan keluar secara serius untuk melindungi lahan-lahan, terutama lahan pertanian produktif dan kawasan konservasi agar para investor tidak semena-mena menguasai lahan. PCNU juga mengingatkan pemerintah daerah agar pembangunan yang dilakukan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masyarakat dan mempertimbangkan madharatnya di masa depan.

Tidak hanya maklumat, melalui Lembaga Bahsul Masail (LBM) yang didasarkan atas informasi masyarakat soal jual-beli lahan yang dilakukan investor berlangsung dalam kondisi "tidak ada unsur sukarela" maka jual-beli tersebut dihukumi haram meski jual belinya sah. Persisnya keputusan LBM seperti ini, "HARAM manakala ada unsur tadlīs (penipuan), khiyānah (dusta) dan dharār (merugikan), tetapi jual belinya sah. Jika jual belinya mengandung unsur ikrāh (pemaksaan) bighairi haqqin (tanpa alasan yang dibenarkan), maka hukum jual belinya TIDAK SAH".

Dalam banyak kasus, pelepasan lahan melibatkan jaringan kekuasaan yang ikut membantu menertibkan pikiran si pemilik lahan hingga terpojok dalam kondisi tak berdaya. Modal dan kuasa jika bersekutu, tak mudah dalam faktanya ditundukkan. Daya libasnya lebih kuat ketimbang kekuasaan pemilik lahan.

Secara kebudayaan penguasaan lahan yang nanti peruntukannya untuk industri diyakini akan menggerus tradisi dan kearifan Madura. Desa sebagai lumbung tradisi akan dihujani nilai-nilai industri yang sangat impersonal dan material. Gotong royong, relasi sosial, keikhlasan, kesetiakawanan, kekerabatan akan pudar tergantikan oleh kehidupan yang makin individualistik, cerai-berai, transaksional, dan penuh pamrih. Rakyat menghadapi setidak-tidaknya tiga hal, secara ekonomi dipangkas, secara sosial diceraiberaikan, dan secara budaya dikeringkan. Wallahu A'lam.

Matorsakalangkong

Pulau Garam l 2 Januari 2018