Posted by rampak naong - -

Sketsasekelumit.blogspot.com

Adanya gerakan keagamaan baru yang belakangan ini mulai masuk ke wilayah Madura perlu diamati secara serius. Hampir semua faham barangkali sudah ada. Mulai faham yang secara ilmu, amaliah dan harakahnya tidak sama dengan orang Madura yang Nahdliyin atau tidak sama sebagiannya.

Umumnya gerakan keagamaan baru ini jika ditelisik tidak menemukan akar kuat dalam praktek keagamaan masyatakat Madura yang sejak dulu sudah mampu mempertautkan antara fiqh dan ajaran sufi, sebagai bagian dari jaringan Islam Nusantara. Praktik keagamaan yang kuat serta prinsip hidup yang penuh ajaran akhlak, sebagaimana nanti akan saya jelaskan, menjadi bukti padunya pertautan ajaran fiqh yang cenderung legal formal dan ajaran tasawuf yang cenderung "longgar" dan tidak "hitam-putih".

Sejarah masuknya Islam di Madura bermula dari Sumenep, tepatnya di sebuah pulau (tidak termasuk the golden triangel island) yang bernama pulau Sepudi.  Berbeda dengan pulau gililabak, pulau ini tak memiliki pesona wisata yang bisa memuaskan kenikmatan lahiriah. Tetapi di pulau ini tersimpan sejarah yang jejaknya bisa dilihat hingga sekarang. Sebuah pulau yang bisa memuaskan dahaga spiritual, dengan melihat maqbarah para wali, situs-situs sejarah dan kearifan lokal yang kental sekali dengan peradaban pesantren. Sayang, pulau ini tidak dilirik.

Tahun 1330-an, pada awal pemerintahan Pangeran Joharsari telah datang seorang muballigh yang berdakwah di Sumenep.  Beliau adalah seorang wali, adik dari Sunan Ampel yang bernama Sayyid Ali Murtadha atau dikenal Sunan Lembayung Fadhal (lihat Lintasan Sejarah Sumenep dan Astra Tinggi, 2011).

Konon, Sayyid Ali Murtadha berlayar ke arah timur dan mendarat di Pulau Sepudi. Di pulau itu, Sayyid mendirikan pedukuhan (pesantren) sebagai pusat belajar Islam. Sepudi diambil dari bahasa jawa yaitu, "sepuh dhewe" yang berarti "tua sekali", satu nama untuk mengabadikan bahwa Islam masuk pertama kali ke pulau ini. Maqbarah Sayyid ada di Asta nyamplong, meski ketika saya ziarah ke situ tak ada tulisan yang menjelaskan. Di situ saya hanya menemukan Asta pangeran Belingi, atau Sayyid Abdurrahman, putra dari Sayyid Ali Murtadha. Juga maqbarah pengeran Adi Podai, putra Pangeran Belingi

Tahun 1500, menurut Gus Dur dalam ceramahnya di Sumenep tahun 2003, ada namanya Ratu Putri, Ibu dari Jaka Tingkir, yang hijrah ke Sumenep. Beliau adalah pengikut tarekat Qadiriyah. Dan Sumenep, menurut Gus Dur waktu itu merupakan pusat tarekat Qadiriyah (lihat pengantar Gus Dur dalam buku Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, 2017).

Ringkasnya, Islam yang berkembang di Madura tak bisa dilepaskan dari jaringan ulama Nusantara, yang telah membentangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah dengan karakternya yang khas, terutama menenun Islam dengan mozaik kebudayaan dimana Islam hadir. Tetapi pada saat bersamaan, dialektika Islam dan Kebudayaan itu menjadi spirit pembebasan seperti yang dipertontonkan oleh Pangeran Trunojoyo pada tahun 1670-an terhadap penguasa Mataram yang menjadi boneka kompeni, hasil Tronojoyo menimba dari Sunan Giri dan Kyai Kajoran.

Jadi, ketika musuh jelas karena mengangkangi umat Islam dan bangsa ini, agama berubah menjadi radikal. Bukan seperti saat ini, kelompok radikal yang hadir di Madura justru berkehendak "mengerdilkan" kekuatan-kekuatan ajaran Islam yang dihadirkan oleh wali dan kyai dahulu yang mampu meracik ajaran tauhid, fiqh, tasawwuf plus budaya lokal yang pas takarannya. Islam hanya ditampilkan aspek fikihnya saja, itu pun dengan caranya yang rigid dan kaku. Beda misalnya jika agama dijadikan basis perlawanan terhadap neoliberalisme di Madura, misalnya merespon isu agraria yang akhr-akhir ini penguasan lahan dan SDA  oleh pemodal demikian marak di Madura (bersambung).


Matorsakalangkong