Posted by rampak naong - -



Mendengar Gempa di Lombok yang getarannya sampai di Madura pertama yang muncul dalam ingatan adalah Muhammad Harfin Zuhdi, orang Lombok pertama yang saya kenal dulu di Ciputat. Semoga karib saya dan saudara lainnya di Lombok diberi keselamatan dan ketabahan. Semoga tidak ada lagi gempa susulan. Ratusan orang meninggal dan luka-luka tentu menyisakan duka. Duka yang mendalam. Tetapi semua harus tegar sambil semua menyelami hikmahnya.

Tulisan ini sekedar mengenang persahabatan saya dengannya. Saya hanya ingin memastikan bahwa sahabat saya dan saudara lainnya di Lombok tifak sendiri. Setidaknya saya dan seluruh rakyat Indonesia ikut berdoa, meski tidak bisa membantu lebih dari itu.

26 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1992, ketika masih semester rendah di UIN Ciputat saya memutuskan untuk tidak mudik ketika lebaran Idul Fitri. Suatu keputusan berat harus saya ambil meski saya tidak sungkeman sama bapak-ibu di kampung, ujung paling timur pulau Madura. Alasan saya simpel; hemat anggaran, antre beli tiket bis/kereta (maklum tak tersedia tiket online waktu itu), liburannya sebentar pada hal jarak yang harus saya tempuh 24 jam untuk tiba di kampung jika naik bis. Sudahlah, sekali-kali menikmati lengangnya Jakarta akibat ditinggalkan penghuninya mudik ke kampung, bathin saya.

Jelang seminggu lebaran, sore hari sebagaimana biasanya saya siap-siap menjalani kegiatan rutin, memburu takjil gratis di Masjid Fathullah, masjid kampus. Ini juga dalam rangkat paket hemat. Jalan menyusuri gang di sebuah kontrakan di pisangan dekat asrama KMSGD (Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati) asal Cirebon, saya berpapasan dengan anak berbadan tegap dan tidak terlalu tinggi yang juga beranjak memburu takjil. Basa-basi sebentar ternyata ada kesamaan nasib, tidak mudik juga. Dialah Muhammad Harfin Zuhdi, asal Mataram, NTB. Ternyata kami sebelumnya pernah bertemu, ya di sektetariat PMII meski kami beda Komisariat. Makin akrablah kami.

Itulah awal keakraban kami mulai. Kami beda suku, saya Madura dia Lombok. Sama-sama tidak mudik (jika naik bis ke Lombok dua hari dua malam), sama-sama pemburu takjil, sama-sama anak pergerakan menyebabkan kami mudah membangun keakraban dan melupakan perbedaan. Islam Indonesia banget kan?

Keakraban kami berlanjut. Kami berdua makin aktif di PMII hingga akhirnya harus angkat kaki dari PMII karena pergantian rezim. Tapi justru di situlah berkah terselubung baru terbuka. Bersama banyak sahabat yang seideologi kami berdua terlibat di kelompok kajian Piramida Circle, sebuah forum yang dihuni anak-anak NU sebagai ruang mendiskusikan ke-NU-an berikut tradisinya, sesuatu yang kurang mendapat tempat di UIN Ciputat sebagai kampus yang mengusung wacana modernisme Islam. Tagline UIN saja kampus pembaharu.

Di situlah kami diskusi, ngobrol (ini yang paling sering), bercanda, saling belajar dsb. Sekretariatnya di Semanggi, sebuah rumah tua milik orang betawi yang disewa oleh senior baik hati. Piramida menampung kami yang berasal dari beragam etnis; Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Batak, Lombok, Flores, dan Betawi. Piramida ibarat tempat yang mampu meracik imagi kebangsaan. Ruang menafaskan tradisi ke-NU-an dan ke-desa-an di tengah pekatnya wacana modernisme Islam dan pengapnya kultur metropolis Jakarta.

Maka bertemulah Syafiq Hasyim, Thobib , Ali Haidar, dan Ghazi al-Fatih  dari Jawa, Maman , Ridwan Subagyodan Ayi Mamduh dari Sunda, Farid F Saenongdan Mas'ud Haliman dari bugis Makassar, Alif karawang, Jailani Banten, Sariin Serang, Buchori Bogor, Harfin Lombok, Mujahid dan 'cong day' Dardiri Madura, Cholis Batak, Amin dan Endin Pandeglang, Rakhmat Jailani Kiki Flores Botni dan kawan-kawan Betawi, dan entah siapa lagi karena di Piramida ada santri kalongnya.

Di kalangan kami sosok Harfin selalu menarik perhatian. Ia lucu meski kami menyebutnya "lucu internal". Hanya di piramida yang tahu kelucuannya, orang luar tidak. Ia memang bukan penghuni Piramida, tapi sehari-harinya di Piramida. Setiap datang ke Piramida ia selalu main gitar, meski kunci yang dikuasai terbatas. Nyanyilah dia, suara ke kanan dan bunyi gitar ke kiri. Penyanyi favoritnya Iwan Fals. Ketika metik gitar suaranya yang rada berat keluar, " denting piano.....". Jika dia di kamarnya, pagi-siang-malam tak ada kaset yang diputar kecuali Iwan Fals. Saya sama mau "muntah" mendengarnya dari saking seringnya.

Persahabatan saya dengannya tidak selalu akur. Sebenarnya boleh dibilang persahabatan ala Tom-Jerry, terutama menyangkut bola. Dia fanatik Argentina, sementara saya Brasil. Jika Argentina kalah, habis dia saya ledek dan biasanya wajahnya memerah meski tetap senyum. Begitupun jika Brasil kalah, dia berkicau terus hingga membuat wajah saya merah.

Persahabatan juga melewati masa susah. Mungkin ini malu diciritakan tapi tak apalah. Pernah makan berdua ke warteg, ternyata setelah dihitung uang saya sama dia tidak cukup. Kurang Rp 50. Akhirnya ngutang deh. Pernah makan bareng dengan PD-nya, sama-sama "husnuddzan" kalau saya punya uang dan saya mengira sama. Intinya sama-sama berpikir akan ditraktir. Selesai makan ternyata baru ketahuan, saya dan dia tidak punya uang. Ngutang lagi.

Yang ekstrem ketika bulan puasa. Saat buka hanya saya dan dia di sektetariat Piramida, karena yang lain punya kegiatan ke luar. Pas adzan maghrib tanda buka tiba tak ada uang. Akhirnya kami berdua makan jambu klutuk yang saya ambil dari pohon jambu "keramat" depan sekretariat Piramida. Ketika berbuka, teman datang dan semua tertawa iba. Cerita ini akhirnya fenomenal dan selalu jadi "ledekan" teman karena "menginspirasi" he...he...

Banyak kisah dengan karib saya ini. Suka-duka melumuri masa-masa perjuangan kuliah dulu sambil cerita kegetiran di bawah rezim orba atau rezim di Kampus.

Tapi ada satu yang mungkin tidak semua sahabat saya dulu tahu, Harfin orang yang istiqamah shalat dhuha.

Semoga sahabat karib saya dan saudara-saudara sebangsa di Lombok tegar menghadapi musibah gempa. Tegar fink ...

Salam

Sumenep, 6 Agustus 2018

Cong Day