Posted by rampak naong - -

Di sumenep Madura.
Di sebuah desa kecil, yang tidak lagi tenang.

Setiap kali saya ke luar rumah menyusuri jalan raya, saya disuguhi ”pemandangan” lucu, bikin gemes, mengesalkan, tapi kadang mengibakan. Para caleg telah berjejer dalam bentuk baliho di pinggir jalan ”menjajakan diri” secara narsistik kepada calon pemilih. Melalui simbol yang dipertontonkan dalam baliho, apakah itu foto, semboyan, background, dan pilihan warna telah meneror ”pembaca” untuk dipandang. Pembaca dipaksa untuk melihat, memandang, bahkan kadang-kadang harus memelototi setiap pesan yang ber(di)main-main(kan) dalam segenap simbol yang dipertontonkan.

Sebuah baliho berdiri tegak di depan rumah seorang caleg. Di baliho itu nampak foto caleg memakai pakaian haji dan surban yang menunjukkan statusnya. Saya sadar, foto itu dipilih bukan tanpa pretensi. Kopiah haji dan surban sudah cukup untuk mengomunikasikan pesan yang hendak disampaikan sang caleg. Haji dan surban memiliki powerful meaning bagi masyarakat Madura.

Pilihan warna yang di pilih pasti tidak akan salah. Ia disesuaikan dengan warna partai. Tapi yang lebih menarik background-nya. Ada 4 foto tokoh agama lengkap juga dengan simbol ketokohannya. Berada di belakang foto caleg sebagai tanda 4 tokoh itu mendukung, menjaga, dan mengawal sang caleg. Dengan begitu, sang caleg mungkin PD, “basis empat tokoh itu sudah saya rebut juga”. Aha..betapa tipisnya antara harapan dan kenyataan.

Ada lagi. Sebuah baliho berdiri tegak. Foto sang caleg berupaya menepis keraguan bahwa dia tidak bersih. Pada hal banyak orang tahu dia bajingan. Suka menipu. Ngemplang uang dinas dan pejabat daerah. Ah...tiba-tiba sang caleg berubah menjadi “manis”. Setidaknya dalam motto-nya, “kita ciptakan aparatur bersih”. Aneh. Di background foto sang caleg ada dua tokoh agama yang sangat dihormati oleh masyarakat Madura. Lagi-lagi saya susah mengunyah realitas ini. Begitu tipisnya antara ”reng tak bhender” (orang jahat) dan ”reng bhender” (orang baik). Aha..ternyata politik telah melelehkan batas antara yang baik dan yang buruk.

Tak masalah. Setidaknya melalui baliho caleg sudah bak selebriti. Tadinya dikenal hanya satu desa dimana ia tinggal, sekarang sudah meluas ke satu daerah pemilihan (di tempat saya meliputi empat kecamatan). Sekarang calon pemilih “dipaksa” untuk memandang caleg yang dulu dikenal bukan siapa-siapa.

Sayang caleg gak sadar betul, calon pemilih yang sebenarnya justru memain-mainkan makna baliho. Secara nanar justru pemilih yang memandang. Istri saya misalnya, “ih...kesal sekali, masa jalanan penuh gambar caleg?”. Teman saya, “pemasangan baliho gak bakal efektif”. Teman saya lagi, “masa caleg gak percaya diri, di baliho saja harus bersama “patronnya”. Saya, “mari jangan biarkan ruang publik dikuasai pemuja kekuasaan”. Terahir, saya jadi ingat motto pak karwo (Gubernur Jatim sekarang) yang juga dibaca oleh teman saya secara tebalik : APBD UNTUK RAKYAT menjadi (sebenarnya) RAKYAT UNTUK APBD. Baliho para caleg sebenarnya sudah diplesetkan sejak baru dipasang calon (bukan) pemilih.