Posted by rampak naong - -


“Rampak naong” adalah falsafah masyarakat Madura. Arti bebasnya kira-kira, “rindang dan teduh”. Frase ini memang menunjuk pada pohon yang dulu paling saya benci; BERINGIN. Lengkapnya falsafah itu berbunyi, “rampak naong, beringin korong”.

Saya memilih frase ini dengan sadar. Sebagai orang Madura, saya merasakan betul bagaimana orang luar menempatkan saya dalam citra yang penuh prasangka. Satu hal yang saya pikir kontraproduktif dengan konteks keindonesiaan yang plural. Atau dengan gagasan multikultural, yang justru kadang-kadang dicederai oleh orang yang paling getol mengampanyekannya.

Salah satu prasangka yang melekat betul dalam alam bawah sadar orang luar, madura = kekerasan. Carok ditunjuk sebagai mekanisme penyelesaian masalah yang menggunakan kekerasan paling sempurna. Ah..lengkap sudah saya menjadi terdakwa.

Nah, sekarang saya mau mengajukan pembacaan lain. Membunyikan suara yang mungkin dari dulu tak pernah terdengar. Ya..”rampak naong”. Satu falsafah yang menegaskan bahwa orang madura suka damai.

Sebagai frase yang menunjuk pada pohon beringin (maaf bukan dalam makna politis), maka pohon itu bisa menjadi tempat bagi siapa saja yang ingin berteduh. Siapa saja yang ingin bernaung sambil merasakan semilir angin yang menyejukkan. Dalam suasana seperti itu, sangat asyik berbincang, bersenda gurau, mengobrol dari permasalahan remeh sampai yang serius. Terserah sambil duduk bersila atau selonjor. Namanya juga di bawah pohon.