Posted by rampak naong - -

Saya hidup di sebuah desa kecil dengan jumlah penduduk sekitar 2.500 jiwa. Penduduk desa saya mayoritas petani, lebih tepatnya buruh tani. Jadi saya bisa menyaksikan bagaimana mereka hidup dalam ekonomi subsistem. Bahkan ada yang harus hidup dalam siklus “gali lubang dan gali lubang lagi”, tanpa memiliki kemampuan “menutup lubang”.
Saya jadi teringat data yang menggambarkan wajah buram petani (terutama) di Jawa Timur. 17,5 % persen dari 38 juta penduduk miskin, sektor pertanian “menyumbang” paling banyak. Hal ini masuk akal, karena rata-rata per kepala keluarga petani di Jawa Timur hanya memiliki lahan 0,3 hektar. Pada hal, sebagaimana di Thailand, untuk sejahtera para petani minimal harus memiliki lahan 2 hektar.
Bisa jadi lahan pertanian ke depan akan semakin berkurang. Kerakusan pemodal terus memburunya dengan menjadikan lahan produktif sebagai pabrik, mall, perumahan, lapangan golf, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan petani.
Ini baru lahan. Belum lagi jika bicara permasalahan yang melilit para petani mulai sejak lemahnya modal, rendahnya harga produk pertanian, lemahnya regulasi yang melindungi para petani, pasar yang dikuasai mafia, belum adanya organisasi yang kuat, ketergantungan petani pada pupuk kimia, perubahan iklim global, dan seterusnya makin menjadikan petani terpuruk.
Bulan ini di desa saya petani seharusnya tersenyum karena panen tembakau telah tiba. Sayang..senyum itu harus di simpan. Tembakau yang seharusnya –paling rendah—18.000/kg, saat ini jatuh pada kisaran 5.000/kg. Harga itu tidak cukup untuk menutupi ongkos produksi sekalipun.
Pada hal di Madura banyak gudang perusahaan rokok besar seperti Gudang Garam, Sampoerna, Djarum, dsb yang seharusnya bisa meningkatkan perekonomian petani. Tapi semua perusahaan di atas persis VOC-nya belanda. Membeli tembakau dengan harga yang sangat rendah, sementara rokok yang diproduksi dijual kembali –termasuk kepada petani—dengan harga yang sangat mahal. Mungkin petani sendiri tidak sanggup membeli sebungkus saja rokok produksi perusahaan terkenal di atas.
Pemerintah Daerah seharusnya merancang kebijakan yang pro-petani. Jangan dengarkan omongan pemodal bahwa kebijakan pro-petani menyalahi kebijakan pasar bebas. Penderitaan petani sudah cukup dijadikan acuan kebijakan pro-petani. Atau akan kita biarkan petani mati di lumbung padi?