Posted by rampak naong - -

Semua orang tahu bagaimana kinerja polisi selama ini. Tapi saya harus mempertanyakan kembali kenerja polisi karena saya dalam kondisi geram. Sudah bertahun-tahun sejak bangsa ini tidak bisa keluar dari krisis, hampir semua desa di kecamatan saya tidak aman. Setiap malam penduduk desa yang memiliki sapi dibuat tidak nyenyak tidurnya. Sedetik saja tidak awas, sapi telah berpindah tangan kepada maling.

Sehari sebelum tulisan ini dibuat, warga desa saya kembali kemalingan sapinya. Tidak tanggung-tanggung sepasang sapi dicuri. Harganya berkisar 10 juta. Bagi orang desa, apalagi dalam kondisi ekonomi seperti ini, 10 juta bukan uang kecil. Apalagi jika pemilik sapi menghitung waktu, tenaga, dan pakan yang digunakan hingga sapinya ditaksir 10 juta. Setidaknya sapi seharga itu butuh dipelihara 2-3 tahun. Tidak sebentar, bukan?

Kasus pencurian sapi bukan sekali saja. Hampir tiap malam. Berpindah dari satu desa ke desa lainnya. Modusnya sama. Pencurian diperkirakan terjadi jam 1-3 dini hari. Dilakukan secara terorganisir oleh maling yang profesional. Ada informan, pencuri, pengangkut (biasanya menggunakan mobil pick up bahkan kijang) dan penadah. Malingnya biasanya lintas kecamatan, bahkan lintas kabupaten dengan jejaring yang sungguh terorganisir. Dan yang pasti, mobil itu kemanapun mengambil route pasti melewati kantor polisi. Kalau tidak melewati polsek di kecamatan sendiri, pasti melewati depan polsek kecamatan lain.

Aneh. Heran. Ajaib. Tak ada respon dari polisi. Tak ada pelacakan. Tak ada mobil patroli di malam hari. Tahu saja mobil lewat di depan polsek, pada hal membawa sapi curian, juga tidak. Atau pura-pura tidak tahu. Jadi tak perlu mimpi akan ada pengamanan yang terorganisir, terpadu, dan terencana yang dilakukan polisi untuk merespon kasus pencurian ini.

Pada hal di polsek ada jadwal piket. Pada hal di polsek ada mobil patroli. Pada hal setiap polsek memiliki intel. Aneh. Heran. Ajaib. Kenapa jaringan pencuri tetap saja sulit dikuak? Lalu kepada siapa, tugas pengamanan harus diamanahkan? Sering polisi menyatakan kurang personel. Buru-buru tambah personel, yang ada saja tidak pernah bekerja.

Untung kepala desa di kecamatan saya relatif terorganisir. Salah seorang kepala desa bercerita kepada saya, jika keamanan rawan, malam hari gabungan kepala desa ini berpatroli menjadi pengaman swakarsa. Kadang-kadang mereka mengepung rumah pencuri, yang datanya sudah dikantongi, hingga dini hari. Tentu saja mereka tidak datang dengan tangan hampa. Mereka membawa senjata tajam. Bahkan, kata kepala desa itu, mereka melabrak masuk ke dalam rumah pencuri persis seperti satuan polisi anti teror yang menggerebek rumah teroris Nurdin M Top. Sayang malingnya lebih cerdas. Rumah sudah melompong, jauh sebelum mereka memasukinya.

Menurut kepala desa, rencana mereka sudah dikoordinasikan kepada polisi. Aneh. Heran. Ajaib. Polisi tidak ikut. Mungkin, menurut polisi, tak cukup bukti. Tapi, menurut saya, akan lebih baik polisi ikut. Setidaknya untuk mengerem jika gabungan kepala desa pengaman swakarsa itu bertindak ngawur dan anarkis.

Lebih aneh. Lebih heran. lebih ajaib. Prakarsa gabungan kepala desa itu tidak cukup memberikan inspirasi bagi polisi untuk mengambil tindakan. Bukankah pengamanan bisa dimusyawarahkan secara partisipatif dengan masyarakat sehingga bisa dirumuskan langkah pengamanan bersama yang lebih terencana? Menghindari anarkisme dan main hakim sendiri?

Masyarakat desa saat ini sudah hidup dalam ekonomi subsistem. Ibarat orang tenggelam, mereka cuma kelihatan rambutnya. Jika datang ombak besar, habislah mereka. Dalam kodisi seperti saat ini, mereka cuma butuh istirahat dengan tenang di malam hari. Besok pekerjaan berat kembali menunggu. Keamanan bukan hanya tugas polisi. Tapi polisi tidak bisa cuci tangan dari tugas ini.