Posted by rampak naong - -

Setiap tahun menjelang lebaran masyarakat urban memiliki hajatan besar. Sekali dalam setahun mereka seakan wajib pulang kampung meski mereka berjibaku dalam antrean panjang untuk memperoleh tiket. Di stasiun, terminal, bandara situasinya sama. Penuh dan sesak dengan lautan manusia. Belum lagi yang pakai mobil pribadi. Atau mudik bareng pakai motor yang belakangan ini makin trend. Kemacetan bukan masalah. Tak sebanding dengan kerinduan menggebu terhadap sanak saudara di kampung yang sudah dipendam selama setahun. Hajatan itu dinamai mudik.

Tak jelas kenapa dinamai mudik. Yang jelas kata ini diderivasi dari akar kata udik. Sebuah kata yang tidak netral, tetapi bias. Bias kepentingan masyarakat urban. Kira-kira makna kata ”udik” sepadan dengan kata ”kampungan”. Kata yang dilekatkan pada orang kampung yang uncivilized, tradisional, kolot, dsb.

Peristiwa mudik bukan sekedar peristiwa biasa. Bukan sesederhana pulang kampung tanpa makna. Peristiwa ini adalah peristiwa kebudayaan. Menyangkut perkara yang paling mendasar; hakikat diri. Jadi, melampaui batasan pulang dalam makna etimologis dan terminologisnya. Bahkan melampaui makna silaturrahim sebagaimana diajarkan agama atau tradisi kita.

Dalam peristiwa mudik ada kegelisahan eksistensial. Masyarakat urban yang setiap hari berjibaku dengan rutinitas hidup formal, impersonal, individualistik, penuh intrik, serta larut dalam logika kebendaan sepertinya membutuhkan recharge. Dan itu ditemukan di kampungnya. Kampung dengan masyarakatnya yang informal, personal, guyub, penuh harmoni, dan dalam batas-batas tertentu masih nampak aura spiritualitasnya.

Sayangnya, masyarakat urban terkadang abai terhadap kegelisahan eksistensialnya. Ketika pulang kampung tetap dengan kesadaran superioritasnya sebagai orang yang terdidik, tercerahkan, civilized dengan memandang orang kampung sebagai obyek. Dengan tatapan seperti ini, orang kampung tidak diposisikan sebagai sumber pembelajaran. Orang kampung tidak diposisikan sebagai subyek pembelajar, tetapi sebagai obyek yang diajari. Komunikasi yang dibangun pun sangat bias, bias ideologi masyarakat urban. Maka segenap komunikasi verbal maupun simbolik diarahkan sepenuhnya pada budaya urban, mulai dari cara bicara, pakaian, perhiasan, kendaraan, selera musik, bahkan cara pandang.

Masuk akal jika kemudian ketika kembali ke kota, masyarakat urban tidak mampu mentransformasikan nilai-nilai yang dialami selama di kampung. Karena sejak awal mereka hanya mudik, tetapi tidak siap menjadi udik dan tidak mau belajar pada orang udik. Tidak apa-apa. Kepribadian orang kampung toh tetap wellcome menyambut anak cucunya. Meski mungkin mudik bagi mayarakat urban hanya dianggap sebagai sekedar wisata.