Posted by rampak naong - -

Dalam masyarakat Madura sebenarnya banyak kearifan lokal yang mendorong orang untuk hidup secara seimbang. Keseimbangan hidup itu diwujudkan dengan menjaga hubungan kepada Allah maupun dengan sesama. Ada ungkapan “abanthal syahadat asapo’ iman” (berbantal syahadat, berselimut iman) suatu ungkapan yang menyiratkan pentingnya agama menjadi sandaran dalam kehidupan kita. Bagi orang yang tidak menjalankan perintah agama dalam masyarakat Madura disebut “edhina Pangeranna” atau tidak memperoleh petunjuk dari Tuhan.

Dalam pergaulan sosial, kesimbangan hidup itu harus dimulai dari pribadi. Jaga pagharra dhibi’ ja’ parlo ajhaga pagharra oreng laen (jaga pagar sendiri, jangan justru menjaga pagar orang lain) adalah anjuran untuk selalu introspeksi dengan melihat kesalahan sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Jhile reya ta’ atolang (lidah itu tidak bertulang) mengajarkan sikap kehati-hatian dalam berbicara atau pentingnya menjaga mulut untuk tidak mengeluarkan perkataan tidak baik, menyinggung, fitnah dan perkataan yang merugikan orang lain. Atau odhi’ e dunnya akantha nete obu’ (hidup di dunia ibarat meniti selembar rambut)juga mengajarkan sikap kehati-hatian dalam menjalani kehidupan di dunia agar tidak tergelincir dalam kemaksiatan, kejelekan, dan kejahatan.

Orang Madura juga punya ukuran terhadap prilaku baik dalam pergaulan sosial yaitu andhap asor (rendah hati). Andhap asor mensyaratkan kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya yang harus dimiliki orang Madura. Sehingga bagi orang Madura orang itu tidak dinilai dari segi luarnya tapi hatinya seperti ungkapan raddin atena, bagus tengka gulina (jika cantik hatinya,prilakunya pasti baik). Atau pantun seperti di bawah ini:

Ba’ omba’ tana balina
Tana temor paseseran
Ba’juba’ teppa gulina
Panda’ omor kepekkeran

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Madura sebenarnya menekankan hidup harmoni. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan Rampa’ naong beringin korong. Anjuran-anjuran untuk saling tolong-menolong dan pentingnya solidaritas sosial juga sangat ditekankan seperti ungkapan ghu’tegghu’ sabbhu’ atau song-osong lombung.
Tetapi dalam pergaulan sosial ketika terjadi konflik atau pertentangan tak jarang orang Madura mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah, misalnya carok. Hal ini mungkin dipicu oleh karakter orang Madura yang keras dan kadang-kadang mau menang sendiri, sehingga ketika tidak mampu mengendalikan justru melahirkan prilaku kekerasan.

Bisa jadi hal ini juga dipicu oleh tingginya masyarakat Madura menjaga harga diri. Perasaan malo akibat harga diri dipermainkan orang seringkali mendorongnya melakukan kekerasan. Ungkapan ango’ potea tolang etembang pote mata atau otang pesse nyerra pesse, otang rassa nyerra rassa, otang nyaba nyerra nyaba seringkali menjadi sandaran orang Madura untuk menyabung nyawa (acarok) ketimbang harga dirinya jatuh dihadapan banyak orang.

Tetapi apapun alasannya kekerasan tidak bisa dibenarkan. Masih banyak cara lain yang bisa digunakan dalam menyelesaikan masalah, misalnya, melalui tradisi abhak-rembhak (musyawarah) yang sebenarnya mengakar kuat dalam masyarakat Madura.

Masyarakat Madura juga dikenal sebagai pekerja keras. Banyak orang Madura–terutama yang merantau, sukses secara ekonomi. Banyak falsafah yang menekankan pentingnya kerja keras seperti karkar kar colpe’, bantheng tolang seang are seang malem, abharentheng, sapa atane bakal atana’(siapa yang bertani, bakal menanak), dll.

Tapi jika kaya, sebagai buah dari kerja kerasnya, orang Madura dituntut untuk peka terhadap orang di sekitarnya, lebih-lebih kepada orang yang tidak mampu. Falsafah mon sogi pasogha’ (kalau kaya harus menjadi penyangga yang lemah) menyiratkan anjuran bahwa jika kaya harus mampu menjadi tiang penyangga bagi orang miskin.

Jika mampu (kaya) orang Madura juga tidak lupa untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah dengan kuatnya keinginan menunaikan ibadah haji. Hampir semua orang Madura menginginkan dapat menjalani rukun Islam yang terakhir itu. Dalam masyarakat Madura keinginan menunaikan ibadah haji itu diungkapkan dengan istilah mangkadha (mau barangkat/naik) atau dha’ bara’a (mau ke arah barat, mungkin karena arah mekkah di barat.

Masyarakat Madura dikenal begitu kuat menjaga rahasia keluarga. Apa yang terjadi dalam keluarga sebisa mungkin tidak menjadi perbincangan masyarakat luas, jha’ methha’ buri’ etengnga lorong. Tetapi jika yang disembunyikan adalah kejelekan cepat atau lambat toh orang akan tahu juga, sapenter-penterra nyimpen babathang paste e kaedhing bauna.

Inilah sebagian kearifan local masyarakat Madura. Sayang, bagi “outsider” Madura hanya dikenal caroknya. Semoga tulisan ini bisa memberi pemahaman yang utuh tentang budaya Madura.