Posted by rampak naong - -


Pernah saya tanya sama seorang teman kenapa selalu tersenyum, bahkan ketika berfoto sekalipun. Jawabnya singkat, ”saya tersenyum karena saya menghargai hidup”. Sebuah jawaban filosofis, setidaknya bagi saya. Butuh berhari-hari saya mengunyah jawaban itu. Mencari kata-kata bersayap yang bisa menerbangkan saya pada hakikat senyum. Apalagi saya type seorang yang serius. Pelit senyum. Jika tersenyum cenderung dipaksakan. Namanya terpaksa, ketulusan senyum hilang terlipat dalam lekukan bibir yang ”tidak beraturan”.

Tapi hakekatnya semua orang suka senyum. Saya juga. Pernah dulu ketika saya baru menginjakkan kaki di terminal Pulo Gadung Jakarta, saya termangu beberapa saat. Saya hampir mau pulang, hanya gara-gara senyum. Bagaimana tidak, jutaan orang yang lalu lalang tak ada satu pun yang tersenyum. Kalau tidak karena mau kuliah, mungkin saya ogah tinggal di Jakarta. Jakarta, menurut saya, kota terbesar di Indonesia yang paling berhasil membunuh senyuman.



Malam hari sambil menulis saya terus berpikir. Saya tak berniat memaksakan diri tersenyum. Kenapa hidup harus dihargai senyuman? Bukankah terkadang hidup membuat kita jengkel? Memancing kita marah? Melumuri kita duka? Dalam situasi batin yang kacau, bukankah senyuman sulit datang? Nah...ini lagi-lagi pengalaman saya.


Saya biarkan imaginasi bertatap muka pada semua guru saya, tetangga saya, sahabat saya. Mencari-cari diantaranya siapa yang tulus tersenyum. Saya menemukannya. Wajah itu saya hadirkan lebih dekat dalam imaginasi. Saya biarkan imaginasi saya menginterogasi sikapnya memaknai hidup. Sampai di sini saya menemukan banyak hal.

Pertama, senyuman tulus lahir dari orang yang bisa berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri adalah sikap hidup seikhlas-ikhlasnya. Mencoba keluar dari konflik batin dan menjalani hidup ”apa adanya”. Sikap ini biasanya muncul karena ditempa oleh kesadaran spiritual: SELALU BERSYUKUR TERHADAP NIKMAT TUHAN.

Kedua, senyuman tulus menjadikan orang bisa berdamai dengan situasi eksternalnya. Seberat apa pun. Hidup terasa enteng dan enjoy (dalam makna yang sebenar-benarnya). Kemampuan berdamai dengan diri sendiri ternyata memancarkan kekuatan ke luar. Tetapi ketika menyikapi situasi eksternal yang tidak ringan secepat kilat didialogkan kembali dengan kekuatan internalnya. Dari kekuatan internal menyembur keajaiban. Hidup bergairah. Sikap optimis terjaga. Tak terkecuali senyuman tulus di bibir, sebagai petanda kemampuannya menjawab setiap interogasi beban hidup. Singkatnya, kekuatan senyum (yang tulus) melahirkan senyum yang memberikan kekuatan bagi sekitarnya.

Ketiga, senyum simbol keramahan. Jika melihat senyum tulus, aura senyumunnya mengirimkan kesejukan dan kedamaian bagi sekitarnya. Yang melihat senyum tulus tersugesti untuk melepaskan kelelahan psikologis dan meluapkan seluruh emosi dari pikiran dan batinnya. Senyum seakan menjadi magnit yang meleburkan kelelahan psikologis. Batin bisa terbang kembali karena mampu keluar dari deraan hidup yang bertubi-tubi. Ajaib, hanya sekedar melihat senyum tulus. Apalagi melakukannya.

Sayang, kapitalisme cerdas. Senyuman juga direbut untuk ekspansi keserakahannya. Melalui managemen orang dipaksa tersenyum. Lihat resepsionis atau sales. Sangat ramah dan selalu tersenyum. Tapi seperti mesin. Ucapan sambutannya, senyuman dan segenap bahasa tubuhnya sama pada siapapun. Terasa hambar, dingin, dan tak menyentuh sisi kemanusiaan kita. Mungkin karena senyuman itu tak tulus. Senyum karena dipaksa managemen.

Sampai di sini saya harus berhenti. Bagaimana saya berhotbah tentang senyuman tulus? Saya sendiri susah senyum kok.