Posted by rampak naong - -


Orang desa sering digambarkan sebagai orang lugu, uncivilized, norak, kampungan, ndeso, udik, dan masih banyak lagi sebutan lainnya yang pejoratif. Tentu saja yang menggambarkan sebaliknya, cerdas, civilized, maju, dan seterusnya. Suatu pandangan bipolar yang biasanya hinggap dalam benak masyarakat (yang merasa) urban. Saya kasih ”dalam kurung”, karena justru mereka asalnya dari desa. Kemudian eksodus dan (merasa) menjadi orang yang ”tercerahkan” di kota.

Bagi orang kota keluguan orang desa bisa dijual dan ternyata laku keras. Sebut saja Tukul dalam acara ”(Bukan) Empat Mata”. Kesuksesan Tukul secara materi tidak lepas dari citra keluguan atau karakter yang dibangun. Karakter Tukul ”sebagai” orang desa telah menjadikannya sebagai top selebrity di jagat hiburan. Meski secara bersamaan Tukul secara (maaf) memuakkan dengan mengolok-ngolok orang desa di setiap acaranya.

Di sini desa diposisikan sebagai obyek. Desa menjadi muara dari pencitraan diri berlebihan masyarakat urban. Untuk menjadi civilized, cerdas, maju, dan seterusnya tentu tidak bisa sendiri. Dibutuhkan obyek di luar dirinya untuk mengukuhkan superioritasnya. Dan itu ditemukan dalam desa yang udik, kampungan, norak. Dengan demikian, relasi kota-desa yang dibangun adalah subyek-obyek.

Sangat disayangkan, kebijakan politik pun mulai sejak pusat hingga daerah menyangkut masyarakat desa juga didesain dalam relasi subyek-obyek di atas. Tak pernah ada ruang yang setara bagi masyarakat desa untuk ikut menentukan nasibnya sendiri.

Meski begitu, konsep subyek-obyek tidak stabil, tetapi labil. Dalam relasi itu, desa secara bersamaan bisa keluar menjadi subyek dan la(ka)wannya, kota, menjadi obyek. Meski posisi subyek itu hanya obrolan di pinggiran dan nyaris tak terdengar, karena orang desa tidak memiliki akses apa-apa ke media. Jangan bilang sama siapa-siapa, orang kota itu kata tetangga saya, rakus. Tanah-tanah di desa sekarang sudah banyak yang ”diembat” orang kota. Ah...subyek, tetapi tetap (di)rugi(kan).