Posted by rampak naong - -


”Selama ini, program NU tak ada yang menyentuh warga.
Saya meramalkan beberapa tahun ke depan, NU akan ditinggal warganya sendiri
jika NU tetap seperti ini” (pernyataan pengurus salah satu ranting di Sumenep)

NU saat ini banyak digelisahkan. Kegelisahan mendalam ini muncul diakibatkan NU sejak dari pusat hingga ranting have fun bermain-main di wilayah politik kekuasaan. Meski seringkali NU mengalami ”babak belur” secara politik, tapi fakta ini tak cukup menyadarkan NU untuk keluar dari wilayah politik kekuasaan. Dalam setiap ajang PIL-PIL –mulai pilpres hingga pilbub—NU tetap pasang badan melakoni taruhan.

Akibatnya NU menuai reaksi dari jama’ahnya. Reaksi yang paling radikal pun muncul. Seperti di Madura, misalnya, saat ini ada realitas ”NU phobia”. Di ”tanah leluhur NU” ini, dimana NU –sebagaimana banyak anekdot—telah diposisikan sebagai ”agama”, justru saat ini NU, dalam pengertian struktural, sudah mulai dijauhi. Jama’ah NU di Madura sudah ogah terlibat dalam kegiatan NU, apalagi aktif menjadi pengurus NU.

Rapuhnya NU secara kelembagaan justru secara cerdas dimanfaatkan oleh, gerakan ”Islam agresif” yang saat ini semakin menguat terutama di daerah perkotaan. Beberapa masjid yang dulu menjadi basis NU, sekarang lepas ke tangan Islam agresif dan menjadi pusat pengembangan gerakan ini. Memang NU phobia bukan dikarenakan berhasilnya Islam agresif meyakinkan dogamanya terhadap kaum nahdliyin. Mereka memperoleh angin dikarenakan permasalahan internal di tubuh NU. NU saat ini sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri, lepas dari permasalahan riil yang dihadapi jamaahnya.

Melihat permasalahan yang memperihatinkan ini, tak bisa ditawar-tawar lagi NU harus kembali ke basisnya melalui –apa yang saat ini sedang diupayakan Lakpesdam NU Sumenep—penguatan ranting.

Akar Masalah

Kenapa NU lalai terhadap jama’ahnya? Ada beberapa jawaban yang bisa dikemukakan di sini. Pertama, NU terlalu percaya diri pada angka statistik, bahwa jama’ahnya besar, misalnya jumlahnya yang mencapai 60 juta. Jumlah ini cukup untuk merepresentasikan besarnya kelompok moderat di Indonesia. Alasan ini pula yang menjadikan NU ”genit” mengakampanyekan Islam rahmat lil alamin, bahkan hingga dunia internasion yang difasilitasi PBNU.

Tentu saja kita harus mendorong NU berperan di tingkat internasional untuk mengkampanyekan Islam rahmat lil alamin. Sama sekali tak ada yang salah dengan kegiatan ini. Sayangnya, isu seksi dan genit ini tidak diimbangi dengan serius untuk melalukan penataan kelembagaan, terutama di tingkat ranting, yang menjadi basis NU. Betul masalah ranting bukan wilayah garapan PBNU, tetapi seharusnya PBNU berada di garis depan bagi usaha penguatan ranting, ketika hampir seluruh kelembagaan di bawahnya –PWNU dan PCNU—abai terhadap permasalahan ini. Jangan malah NU bergaung di dunia Internasional, tetapi kropos di bawah.

Kedua, permasalahan klasik yaitu asyiknya NU mengawal kekuasaan ketimbang mengawal khittah dan jamaah. Permasalahan ini demikian akut sehingga setiap upaya untuk mengembalikan NU pada khittahnya selalu saja menemukan kebuntuan. Di beberapa daerah, terutama di Jawa Timur, konflik di internal pengurus NU tidak bisa dielakkan karena sebagian besar pengurus NU terlibat dalam politik praktis entah sebagai calon (bupati/gubernur) atau tim sukses. Keterlibatan para pengurus tidak memperoleh sanksi sesuai dengan etika organisasi yang mengharuskan pengurus mengambil cuti selama terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Ketidakmampuan NU menyapih kepentingan politik praktis memperoleh reaksi keras dari jamaahnya dengan mengolok-olok NU sebagai ”kendaraan politik”. Dalam berbagai diskusi, permasalah ini pula yang menyebabkan jama’ah kehilangan kepercayaan terhadap NU sehingga melahirkan ”NU phobia”, sebagaimana disinggung di muka. NU seakan-akan tampil seperti partai politik yang butuh jama’ahnya ketika pilkada/pemilu, setelah itu jamaah kembali ditinggal.

Ketiga, program NU abai terhadap permasalahan riil warganya. Dalam kesempatan berbincang dengan pengurus ranting terlontar kegeraman karena program NU tidak nyambung dengan permasalahan riil warga. Kesulitan ekonomi, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan, kebijakan publik yang melemahkan warga NU, dll. jarang atau bahkan tidak pernah direspon oleh NU. Suatu saat bukan tidak mungkin, jika NU tetap dalam kondisi seperti sekarang, NU akan ditinggal warganya.

Penguatan Ranting, Sebuah Jawaban?

Khittah NU sebenarnya sudah tegas, tidak saja memagari NU dari kepentingan politik praktis, tetapi secara bersamaan juga ”mewajibkan” NU untuk berkhidmat terhadap jama’ahnya. Sayangnya, khidmat terhadap jama’ah terkalahkan oleh hiruk-pikuk kegenitan politik praktis.

Barangkali saatnya NU dipulihkan sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dengan menjadikan isu-isu kerakyatan sebagai main issue. Jika dianggap sebagai sebuah jawaban, barangkali diperlukan ada gerakan nasional penguatan ranting. Diharapkan dengan gerakan ini ada kegairahan di NU untuk kembali ke basis.

Kenapa ranting? Sebagaimana disinggung dimuka ranting merupakan struktur kelembagaan yang paling dekat dengan warga NU. Ranting lah yang tahu degup nafas keseharian warga NU. Keseharian warga NU yang rentan secara ekonomi, terpinggirkan secara politik, teralinasi secara sosial-budaya tentu membutuhkan respon yang riil, terencana dan berkelanjutan. Permasalahan itu, menurut saya, hanya bisa dijawab oleh lembaga yang terdekat. Karena lembaga terdekatlah yang paling tahu apa yang menjadi kebutuhan jama’ah di tingkat basis.
Pengalaman Lakpesam NU Sumenep mendampingi 12 ranting NU selama setahun, ternyata direspon secara positip oleh jama’ah NU. 12 Ranting NU yang saat ini didampingi Lakpesdam NU Sumenep tengah bergairah melakukan penataan kelembagaan (capacity building) serta mengembangkan program yang menjadi kebutuhan di tingkat basis.

Selama satu tahun terahir ini, isu yang dikembangkan fokus pada dua hal. Pertama, pendidikan ke-NU-an dan Aswaja yang dimaksudkan untuk mengimbangi laju gerakan Islam agresif. Kedua, penguatan ekonomi jama’ah yang kegiatannya sangat beragam mulai sejak membentuk kelompok simpan pinjam (KSP), koperasi, usaha pertokoan, pengembangan ternak sapi, sampai pertanian organik.

Saya yakin, seandainya ada gerakan nasional penguatan ranting –yang sebenarnya menjadi mandat National Meeting Lakpesdam di Palembang 2005—maka dampaknya akan luar biasa. Dalam gerakan nasional penguatan ranting ini, PBNU, PWNU, dan PCNU tinggal bagi peran. Tentu gerakan nasional ini butuh grand desain. Semoga saja Rakernas Lakpesdam ke-4 yang akan diadakan di Malang, tanggal 17-20 November ini, akan menjadikan penguatan ranting sebagai salah satu isunya.

Tulisan ini bisa dibaca juga di NU Online www.nu.or.id