Posted by rampak naong - -


Sebentar lagi –tepatnya tahun 2010—Sumenep akan menghelat pemilihan Bupati 2010-2015. Saat ini sudah banyak yang mencalonkan diri. Mulai yang sudah terang-terangan, seperti calon yang memasang baliho di ruang publik, atau yang masih samar-samar sambil mengalkulasi dan menunggu timing yang tepat untuk muncul. Tapi dipastikan diantara calon yang muncul ada dari kalangan kiai. Dalam kultur dan realitas politik di Madura, sulit mengharapkan kiai tidak terlibat dalam politik kekuasaan.
Keterlibatan kiai dalam wilayah politik kekuasaan melahirkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Yang pro berpendapat, bahwa keterlibatan kiai dalam politik bermanfaat paling tidak karena dua hal. Medan dakwah kiai semakin luas, tidak hanya di wilayah kultural seperti biasanya, tetapi juga merambah wilayah struktural. Hadirnya kiai dalam politik kekuasaan akan memberi arti bagi kekuasaan itu sendiri karena ia ”terspritualisasi”. Kekuasaan akan dijadikan sarana pengabdian kepada Tuhan untuk kemudian diabdikan bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Tetapi yang kontra sebaliknya berpendapat bahwa keterlibatan kiai dalam wilayah politik kekuasaan jsutru menjadikan kerja-kerja kultural kiai terabaikan. Kiai yang selama ini fokus di wilayah kultural seperti melakukan pendidikan (keagamaan) kepada masyarakat, melakukan kontrol terhadap kekuasaan yang menyimpang, dst. mulai tak terurus karena energi kiai terserap sepenuhnya untuk kerja-kerja politik kekuasaan. Apalagi sistem kekuasaan saat ini sangat korup sehingga bukan mustahil kiai bisa terjerembab dalam sistem yang korup tersebut. Oleh karena itu, menurut pandangan yang kontra, sebaiknya kiai di wilayah kultural saja sambil menyuarakan kebenaran dari luar struktur.
Kiai sebagai entitas kultural dan sosiologis memang tidak lepas dari konteks struktural yang mengitarinya. Karena itu, kiai tidak mungkin bisa menghindar dari hiruk-pikuk permasalahan politik. Tetapi yang perlu diperluas adalah peran kiai dalam wilayah politik. Dengan kata lain, kiai tidak hanya menjadikan politik kekuasaan sebagai satu-satunya jalan bagi jihad politiknya, tetapi masih ada lagi wilayah politik yang meminta tidak kalah seriusnya dari peran kiai, yaitu politik kebangsaan dan politik kerakyatan.
Peran politik kebangsaan kiai sejak dulu memang tidak bisa dinafikan. Kiai –terutama melalui organisasi NU—telah membuktikan sebagai pengawal NKRI sejati. Bahkan di tahun 1984 dalam muktamar NU, kiai telah menerima NKRI dengan pancasilanya sebagai bentuk final dari sistem kenegaraan Indonesia. Tetapi peran politik kebangsaan kiai masih sangat dibtuhkan saat ini, karena ancaman terhadap NKRI masih terus berlanjut, terutama oleh gerakan ”Islam agresif” yang menghendaki formalisasi Syari’at Islam di Indonesia.
Sementara politik kerakyatan masih menunggu peran kiai secara maksimal. Selama ini wilayah politik kerakyatan jarang disentuh karena kiai belum memiliki tradisi yang kuat di wilayah ini. Politik kerakyatan menyaratkan keterlibatan kiai untuk melakukan advokasi terhadap permasalah riil yang dihadapi rakyat, terutama mendorong bagaimana kebijakan negara bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Bukan kebijakan seperti selama ini yang sangat pro-pasar. Apalagi dalam faktanya, jama’ah kiai adalah orang-orang pedesaan dengan profesi sebagai petani dan pedagang kecil, nelayan, buruh, TKI/TKW, dst.
Dengan demikian, politik kekuasaan sebenarnya bukan satu-satunya jalan. Masih ada politik kebangsaan dan politik kerakyatan yang bisa menjadi jalan bagi kiai untuk terlibat dalam wilayah politik. Tetapi, kalau pun tetap berkeinginan terlibat dalam wilayah politik kekuasaan perlu dicari kiai yang capable serta memiliki integritas, visi jelas serta ideologi kerakyatan yang jelas pula. Jika tidak, kekuasaan hanya akan menjadikan masalah dan memperburuk citra kiai di mata ummatnya. Wallahu A’lam