Posted by rampak naong - -


Saya mengikuti ”Training of Trainer (ToT) Blok Politik Demokratik” yang difasilitasi Lingkar Indonesia untuk Keadilan (Link) Jombang dan Perkumpulan Demos, Jakarta, dari tanggal 13-16 di Trawas, Mojokerto. Trawas adalah daerah yang sangat sejuk karena dikelilingi pegunungan. Meski saya yakin, villa-villa yang bertebaran di daerah itu milik orang kaya perkotaan. Kontras dengan rumah penduduk asli yang kebanyakan sangat sederhana.

Selama 3 hari banyak gagasan yang muncul dalam sharing ToT Blok Politik Demokratik ini. Poinnya adalah proses demokrasi saat ini disandera oleh kepentingan elit. Maka beralasan jika demokrasi yang berkembang saat ini adalah demokrasi procedural. Proses demokrasi yang jauh dari hiruk-pikuk rakyat. Dalam proses yang procedural ini, demokrasi sangat kering dan jauh dari substansi. Keadilan dan kesejahteraan rakyat hanya kamuflase. Dimainkan maknanya untuk kemudian disandera demi kepentingan elit sendiri. Kepentingan elit demikian terkonsolidasi dan oleh karena itu terpelihara.

Sementara di sisi lain, NGO sebagai kekuatan dalam masyarakat terpecah-pecah. Gerakannya yang berbasis isu sektoral menjadikan NGO terperagmentasi. Terserak-serak ke dalam banyak ragam isu yang menjadikannya sulit untuk melakukan konsolidasi. Jika mau kritis, sangat wajar NGO terperagmentasi ke dalam banyak isu yang terserak-serak, karena banyak NGO bekerja berdasarkan atas isu hasil desain donor. Banyak NGO –tanpa bermaksud melakukan generalisasi—bekerja atas dasar “isu-proyek” bukan atas dasar “isu-gerakan (social)”. Jika donor beralih isu, NGO juga beralih isu.

Kalaupun NGO membentuk koalisi atau apapun namanya, tetap terperangkap ke dalam isu temporer sehingga menjadikan koalisi yang dibentuk rapuh, tanpa memiliki daya tahan yang panjang. Kerapuhan daya tahan koalisi itu dicurigai akibat tidak adanya long term flatform. Singkatnya, koalisi dibangun berbasis isu yang sifatnya temporer, bukan berbasis flatform dalam jangka panjang.

Tetapi ada juga NGO yang berhasil membangun koalisi atau aliansi yang sifatnya “permanen”. Gerakannya keluar dari isu yang bersifat temporer. Tetapi tetap saja koalisi yang dibangun rapuh karena mekanisme internal untuk mengontrol anggota jejaringnya, menurut pserta dalam sharing di tot, belum dibangun. Sehingga koalisi kadang harus bubar hanya karena rendahnya trust di antara anggota koalisi. Trust belum terbangun akibat koalisi berjalan tanpa flatform dan mekanisme internal yang jelas di antara anggota koalisi. Menurut peserta, lemahnya mekanisme internal dimanfaatkan oleh NGO yang opportunis untuk melakukan barter ketika melakukan advokasi kebijakan. Di depan anggota koalisi, NGO ini bersikap setia. Tetapi di belakang melakukan barter dengan pengambil kebijakan.

Jika sebuah koalisi memiliki flatform yang jelas dan juga memiliki mekanisme internal yang mengatur anggota koalisi, akan menjadikan koalisi ini memiliki daya dukung dan daya tahan yang kuat. Dengan demikian, kekuatan koalisi ini akan mampu menjadi check and balance bagi berlangsungnya praktek dmokrasi procedural yang jauh dari substansi dan jauh dari kepentingan rakyat. Koalisi permanen inilah yang “dilebeli” oleh demos sebagai Blok Politik Demokratik.
Dalam tataran implementasi, Blok Politik Demokratik, sebagaimana yang muncul dalam sharing sebenarnya sudah ada. Misalnya, pengalaman Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Jatim yang konsen melakukan advokasi kebijakan perburuhan, Pagar Madani Ngawi yang melakukan advokasi kebijakan penganggaran, Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jatim yang memperjuangkan keberagamaan yang toleran dan anti diskriminasi, atau pengalaman Posko Pelayanan Kesehatan (P2K) bagi Masyarakat Miskin di Sumenep yang melakukan advokasi kebijakan kesehatan dan pendampingan warga miskin untuk memperoleh hak kesehatannya, adalah contoh Blok Politik Demokratik, meski menurut peserta, masih dianggap emberio.

Kenapa dianggap emberio? Meski koalisi yang muncul di berbagai daerah sebagaimana disebut di atas sudah memiliki long term flatform, tetapi kurang diimbangi adanya mekanisme internal yang bisa menata anggota koalisi tetap dalam ”jalurnya”. Masalah inilah yang terkadang membuat koalisi harus bubar. Oleh karena itu, mempertajam flatform dan menata mekanisme internal koalisi menjadi sesuatu yang sangat penting ke depan.

Cuma banyak pertanyaan yang kurang didiskusikan secara tajam dalam ToT ini. Misalnya, bagaimana posisi Blok Politik Demokratik dalam konteks mengguritanya neo-liberalisme? Seperti apakah relasinya dengan pasar? Bagaimana fund rising-nya (dalam pengalaman peserta banyak yang swadaya, tetapi belum optimal)? Bagaimana mengatur mekanisme internal Blok Politik Demokratik, terutama menyangkut hubungan dengan funding? Apakah funding yang menyokong neo-liberalisme juga menjadi k(l)awan? Apakah Blok Politik Demokratik –jika dibentuk di berbagai daerah—harus seragam atau beragam, terutama menyangkut mekanisme internalnya? Jika beragam, bukankah sulit membangun koalisi Blok Politik Demokratik di tingkat regional dan nasional? Jika seragam, siapakah yang memiliki wewenang untuk menyeragamkan?
Segudang pertanyaan tentang Blok Politik Demokratik menjadikan saya lelah betul.

Tetapi tetap saja ToT ini bagi saya inspiring. Banyak pengalaman antar-peserta yang memberikan pengetahuan kepada saya. Setidaknya ikut ToT ini me-recharge semangat saya untuk meneruskan pengawalan warga miskin memperoleh hak kesehatannya di daerah saya, Sumenep. Tanggal 16 November saya check out dari hotel untuk meneruskan perjalanan ke Malang. Karena tanggal 17-20 November saya harus mengikuti Rakernas Lakpesdam NU di Batu, Malang. Benar-benar melelahkan, meski juga menantang.