Posted by rampak naong - -


Secara seksual saya dilahirkan sebagai seorang laki-laki. Inilah takdir. Saya tidak pernah meminta. Orang tua saya juga bukan penentu. Tuhanlah yang mengaturnya.

Sebagai seorang laki-laki banyak ”keuntungan” yang saya dapat. Kebudayaan patriarkhi telah menyediakan ruang bagi saya untuk berkembang. Termasuk mengembangkan dominasi ketika saya melakukan relasi dengan ”pasangan” saya, perempuan. Sungguh sebagai seorang laki-laki, saya powerfull

Untung, terutama ketika kuliah, saya masih mau belajar jender. Kesadaran saya jadi terbuka bahwa kebudayaan patriarkhi ternyata meminggirkan perempuan. Tetapi itu tidak cukup. Jender hanya menggumpal di alam tahu, di alam pikir. Di alam praksis, sebentar dulu bung. Kesimpulan saya, di tengah mainstreaming jender, penghormatan terhadap perempuan justru belum banyak berubah. Terutama yang terkait dengan seks, perempuan tetap diposisikan sebagai objek (seks). Meski belakangan harus diakui, perempuan juga menjadi subyek seks.

Saya mau mengajukan tesis, menjadi laki-laki bagi saya saat ini sulit setengah mati. Walaupun saya sudah memiliki istri yang setia dan anak yang lucu. Hal terberat bagi saya adalah menjaga kesetiaan (tentu saja kesetiaan terhadap perempuan yang sudah kita nikahi). Ada saja godaan untuk berpaling. Sama beratnya bagi saya, godaan untuk digoda atau godaan untuk menggoda.

Bayangkan, bagaimana kesetiaan tidak tergoda ketika titik libidonal diimpuls dari segala penjuru? Ketika panca indera dikepung dari segala arah? Lihat, ruang publik sudah sesak dengan citra seks. Apakah di TV, dunia maya, baliho iklan, radio, phone, novel, musik sampai bisik-bisik antar laki-laki sejak dari warung kopi sampai cafĂ©. Ah...semuanya tentang ”rumput tetangga yang lebih hijau”. Sungguh, tak perlu bohong, kesetian kita tengah diuji. Bertubi-tubi.

Makanya saya tidak menyangkal jika ” dasar lelaki” atau ”dasar`buaya” sering meluncur dari mulut perempuan, mahluk yang, menurut saya, paling terhormat. ”Dasar laki-laki, dasar buaya” seakan mengungkap, menyingkap, dan menangkap basic instinc lelaki yang dasarnya tidak setia(?) Sindiran yang kena. Menusuk sisi jantung laki-laki.

Tetapi sindiran ini justru ”melabeli”. Labeling ini seakan menjadi penanda , jika bukan ”dasar laki-laki” ya bukan laki-laki. Ah... laki-laki, emang. Kadung basah, ya sekalian mandi.

Kawan saya, suatu hari, bersama istri dan anaknya naik motor. Di lampu merah, ada seorang perempuan cantik yang sama-sama berhenti. Reflek, leher kawan saya menoleh, ”ah cantiknya”. Kawan saya baru sadar ketika istrinya mencubitnya dari belakang. ”Dasar buaya”, katanya kesal. Beruntung ”counter discourse” istrinya membuat turbulensi kawan saya stabil kembali.

Permasalahannya, bukankah istri tidak selalu menemani? Apakah turbulensi stabil ketika kita sendiri? Apakah panggilan ”ayah” anak kita masih terdengar ketika kita jauh darinya? Masih stabilkah ketika titik libidonal mulai bekerja di saat mereka di rumah, sementara kita di luar rumah?bukankah banyak fakta, di rumah laki-laki bijak, sebaliknya di luar rumah (maaf) bejat?

Saya kemudian sampai pada kesimpulan, kesetiaan menjadi salah satu indikator seseorang disebut laki-laki. Bagi yang berkeluarga, kesetian untuk tidak menyederai kesetiaan istrinya. Bagi yang belum berkeluarga, kesetian untuk menunda (...) hingga nikah tiba.

Jangan marah, laki-laki yang sudah menggadaikan kesetiannya tetap ”laki-laki”, meski dengan tanda petik. Tetapi dia, meminjam istilah Herbert Marcuse, one dimensional man, makhluk satu dimensi. Jasadnya laki-laki, rohnya bukan (sayang meski saya putar otak, saya belum bisa menamainya).

Saya sadar, karena saya mengalami, tidak mudah menjadi laki-laki saat ini. Sekali lagi, kesempatan menggoda dan digoda sama besarnya. Boleh dibilang, ideologi ”ngeres” merajai sejarah kita saat ini. Ia telah memenangi pertarungan dengan ideologi lainnya, karena ideologi ”ngeres” lentur, bisa ke ”kanan” maupun ke”kiri”. Mungkin tesis ”the end of history”-nya Fukuyama bisa dipinjam untuk menandai menangnya ideologi ”ngeres” saat ini.

Kesetiaan menjadi kata kunci untuk berjuang menjadi laki-laki. Kesetiaan untuk memegang komitmen kepada istri dan anak-anak kita, dimanapun kita berada. Tentu akan lebih dahsyat jika kesetiaan ini kita tambatkan dalam kesadaran keimanan. Jadi kesetiaan terspiritualisasikan. Dengan demikian, ketika kesetiaan tergadai, maknanya bukan saja kita mengubur mimpi menjadi laki-laki. Tetapi tindakan kita sebenarnya telah melukai keimanan kita sendiri. Selamat berjuang menjadi laki-laki.