Posted by rampak naong - -


//Hari senin, 28 Desember 2009// Ketika pindah ke rumah baru, saya meninggalkan foto Gus Dur di rumah lama. Hampir setahun di rumah baru, saya pun tak ingat dimana saya menaruh foto Gus Dur. Kebetulan saat saya mengunjungi rumah ibu saya, foto Gus Dur ternyata tergeletak di meja dengan dua buah foto saya. Saya memungutnya kemudian membawanya ke rumah baru saya.
//Hari rabu, 30 Desember 2009// Belum sempat manaruhnya di tembok, tiba-tiba rabu malam sekitar jam 19.30 kotak pesan HP saya –yang dalam kondisi silent— sudah penuh dengan SMS dari banyak teman. Sang guru bangsa yang saya kagumi itu telah pergi. Ah… Gus baru kemarin rasanya…
//Kilas balik Tahun 1990// Ketika saya baru semester 1 di IAIN (sekarang UIN) Jakarta, saya menulis opini di Harian Pelita, mengkitik Gus Dur yang mengkritrik ICMI sebagai sektarian. Maklum meski sejak di bangku Madrasah Aliyah, saya sudah membaca tulisan-tulisan Gus Dur di majalah prisma dan pesantren hasil pinjam sama kakak, ternyata terlalu rumit buat saya. Ditambah lagi lingkungan Ciputat yang sangat “Islam modernis” dan butanya saya terhadap konsfigurasi kekuatan politik nasional, menambah saya jahlun murakkab alias bego bertingkat-tingkat. Saya sangat terpesona terhadap lahirnya ICMI ketika itu sebagai representasi kebangkitan Islam, agama mayoritas di negeri ini. Tanpa pernah berpikir bahwa “I” dalam huruf terahir ICMI adalah Islam Modernis.
//Kilas balik 1992// Dua tahun kemudian pemahaman saya terbuka. Penolakan Gus Dur terhadap ICMI yang dilabeli sektarian pertama-tama harus dipahami sebagai konsistensi Gus Dur membela NKRI. Kedua, representasi Islam (ketika itu memang getol memperjuangkan politik representasi) tidak ada sangkut pautnya dengan Islam tradisi(onal) tempat saya menambatkan referensi keagamaan dan kebudayaan saya. Karena politik representasi hakekatnya telah menyingkirkan the others. Ketiga, ICMI ketika itu lahir sebagai hasil dari perubahan konstelasi politik orba (baca: soeharto) setelah kubu militer tidak diyakini lagi mampu menjadi penopang kekuasaannya. Pembacaan saya yang agak lengkap tentang perubahan konstelasi politik nasional itu justru saya pelajari dari Gus Dur, orang yang saya “salah pahami”
Sejak akil baligh terhadap peta politik nasional, saya kemudian bisa menentukan posisi saya. Saya tidak malu lagi jadi aktivis PMII, organisasi mahasiswa yang (di)marginal(kan)di ciputat saat itu. Saya punya ikon, Gus dur yang nama dan pemikirannya paling serius dibicarakan karena kelihaiannya “melawan arus” politik ketertiban orde baru dengan membangun Fordem (Forum Demokrasi). Yang pertama dan utama tentu saja karena saya NU. Dan Gus Dur ketika itu adalah ketua PBNU. NU telah menjadi sungai dimana hulu dan hilir bertemu meski jaraknya mungkin bermil-mil. Saya tidak peduli, saya sungguh bangga menjadi NU.
//Kilas Balik 1994// Saya beruntung menjadi saksi muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya. Muktamar Cipasung mungkin muktamar paling panas dalam perebutan ketua PBNU. Gus Dur ketika itu dihabisi secara massif oleh kekuatan rezim Soeharto melalui segala instrumennya sejak dari militer, birokrasi, media, dan “musuh dalam selimut” yaitu Abu Hasan, sebagai pesaingnya.
Baru saja tiba di Cipasung, aroma panas sudah mulai terasa. Saya melihat mbah Lim –kiai nyentrik dari Jawa Tengah—mondar-mandir sambil mengatakan “pokoknya Gus Dur…pokoknya Gus Dur”. Beliau mengucapkan kata itu kepada wartawan Kompas, satu-satunya media yang beritanya relative netral ketika itu, meski saya yakin Kompas pasti berada dalam tekanan rezim ORBA juga. Sementara wartawan media lain, yang semuanya dalam kooptasi rezim Orba dicuekin sama mbah Lim.
Setelah menghilang entah kemana, beberapa jam kemudian, mbah Lim kembali datang tergopoh-gopoh. Beliau klangsung masuk ke dalam sebuah ruangan yang di dalam ada Gus Dur. Saya hanya melihat dari luar kaca ruangan yang tembus pandang tanpa mendengar apa yang dibicarkan di dalam. Kesimpulannya saya, pasti ada masalah rumit. Begitu seriusnya Gus Dur berbincang dengan mbah lim sambl sesekali terlihat wajah emosional keduanya. Bisa jadi mereka berdua sedang membicarakan intervensi pemerintah Orba, yang memang berniat menghabisi Gus Dur untuk tidak di(ter)pilih lagi sebagai ketua PBNU.
Kian lama Cipasung kian panas. Santer berita intel sudah masuk ke kamar muktamirin untuk mempengaruhi mereka agar tidak memilih Gus Dur. Semua media memojokkan Gus Dur. Kaum muda NU yang mendidih darahnya rame-rame membakar semua koran yang beritanya dinilai “sampah” , karena menampilkan berita sepihak dan cenderung memojokkan gus dur.
Beruntung juga, saya bersama teman bisa bertemu dengan 2 sahabat Gus Dur, Djohan Efendy dan Sobari. Kami bahkan satu mobil ketika mengantar mereka ke hotel yang jaraknya lumayan jauh dari arena muktamar. Di dalam mobil kami memperoleh banyak informasi dari 2 orang, yang sebelumnya hanya kami kenal melalui kolomnya di mass media, bagaimana usaha sistematis Orde Baru untuk menghabisi Gus Dur.
Pada acara puncak yaitu pemilihan Ketua PBNU, suasana makin panas. Semua muktamirin deg-degan karena perolehan suara Gus Dur dan Abu Hasan susul-menyusul. Abu Hasan yang banyak orang tidak mengenal muncul sebagai “kuda hitam”. Tetapi kebenaran tetap bicara. Meski tidak telak, Gus Dur ahirnya menang. Kemenangan Gus Dur disambut begitu emosional oleh pendukungnya. Semua terisak-isak menangis, terharu, dan seolah-olah tidak percaya. Karena yang dihadapi Gus dur sebenarnya bukan abu hasan, tetapi kekuatan orba yang waktu itu seperti boldozer, siap menggilas siapa pun yang coba-coba melawannya. Tapi gus dur pantang menyerah.
Sepulang dari Cipasung bersama 6 teman kami kembali ke Ciputat. Cipasung sungguh telah memberikan pengalaman berharga dan tak terlupakan. Dari arena cipasung saya belajar banyak dari gusdur tentang makna tradisi, kebangkitan civil society, demokrasi, relasi NU-negara, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang mengancam kebebasan. Dan yang tak terbantahkan, kaum muda NU berhutang besar terhadap Gus Dur karena beliaulah yang menuntun kaum muda memasuki the bounderless world. Kebanggaan menjadi kaum muda NU yang saat itu sudah menjadi gerakan, tak terlepas dari jasa Gus Dur.
Dari Cipasung kami tidak hanya pulang ke Ciputat tanpa sesuatu. Gelegak darah ke-NU-an kami mendidih dan kemudian ditampung dalam kelompok kajian Piramida Circle, sebuah kelompok study yang dibentuk oleh kaum muda NU yang mengkhususkan kajian pada NU beserta kekayaan tradisinya. Makna penting kehadiran Piramida Circle terletak pada usahanya untuk mewarnai pemikiran Islam Modernis dan Islam Rasional yang dengan “angkuh” ditasbihkan sebagai “madzhab Ciputat” oleh pendukungnya. Berdirinya Piramida Circle saya pikir, meski tidak secara langsung, sangat dipengaruhi oleh Gus Dur yang pimikiran-pemikiran dan sikap serta lakunya menyihir kaum muda NU yang ada di Ciputat.
Kami sadar, Ciputat sepertinya memang tidak ramah pada NU. Selama 7 tahun saya di sana, sangat jarang IAIN mengadakan seminar, workshop, atau kegiatan ilmiah lainnya yang mengangkat NU beserta kekayaan tradisinya. Seingat saya, mengundang Gus Dur pun tidak pernah.
//2010// Sampai detik tulisan ini dibuat, kehilangan Gus Dur masih saya rasakan. Tak apalah orang menyebut saya Gusdurian yang kadang-kadang bagi orang tertentu nyinyir karena dinilai tidak kritis pada pemikiran Gus Dur. Atau mungkin saya masuk dalam katagori Imam Prasodjo –ketika jadi nara sumber talkshow Metro TV—mengkultuskan Gus Dur. Saya sadar, susah bagi orang sekelas Imam Prasodjo merasakan kepergian Gus Dur, seperti orang NU rasakan. Karena dia tidak mengenal bahasa ta’dzim sebagaimana orang NU kenal.
Satu hal yang menghantui saya, paska meninggalnya Gus Dur tantangan berat yang bakal kita hadapi akan banyak muncul gangguan terhadap NKRI. Betul keberlangsungan NKRI tidak ditentukan oleh Gus Dur seorang. Tapi semua pasti sepakat, Gus Dur lah yang pasang badan pertama jika ada kelompok-kelompok tertentu yang mau merubah NKRI. Sikap Gus Dur membuat kelompok-kelompok ini ciut, karena di belakang Gus Dur ada jutaan pendukungnya yang siap mengamini. Semua juga sepakat, tak ada tokoh nasional yang memiliki basis massa riil, sebagaimana Gus Dur.
Hal lain yang memunculkan harap-harap cemas, masa depan NU. Paska meninggalnya Gus Dur NU bisa jadi akan meningkat intensitas konfliknya. Jika NU tidak melakukan penataan kelembagaan atau membangun organisasi yang memiliki mekanisme internal untuk men-support daya dukung dan daya tahannya, NU akan terus melemah. Bayangkan, jika organisasi terbesar yang paling setia mengawal NKRI lemah, dengan sendirinya NKRI juga akan memperoleh dampaknya.
Tetapi Gus Dur sudah pergi. Dengan ikhlas harus kita relakan. Yang bisa dilakukan saat ini, melanjutkan sepak terjangnya. Mengawal NKRI, membangun Keadilan terutama bagi rakyat kecil, dan memartabatkan manusia dan kemanusian. Semua itu harus dilakukan tanpa pamrih, konsisten, dan perjuangannya tanpa henti seperti yang diteladankannya.
Ah...Baru kemarin rasanya...
Selamat jalan Gus. Semoga Allah memberi tempat dan derajat yang tinggi bagimu. Amin.