Posted by rampak naong - -


Bagaimana gambaran anak shaleh ala KIPAS? Sekali lagi ini adalah hasil sharing ibu-ibu yang masih abstrak karena ketidakmampuan saya memfasilitasi. Ada beberapa indikator anak shaleh menurut ibu-ibu KIPAS. Setiap indikator yang dihasilkan ibu-ibu di breakdown dengan memberikan contoh. Tentu saja contoh digali dari pengalaman ibu-ibu sendiri, yang antara satu dengan lainnya ternyata saling melengkapi. Inilah indikator anak shaleh menurut ibu-ibu KIPAS :

  1. Rajin beribadah kepada Allah. Untuk ukuran anak TK, misalnya, dibiasakan baca do’a ketika makan, tidur, dan berangkat sekolah. Sejak usia ini  juga sudah harus mulai dibiasakan belajar mengaji. Menurut ibu-ibu, semua ini dilakukan dengan pembiasaan, bukan dengan paksaan. Maka pendampingan serta ketauladanan orang tua menjadi sangat penting dalam konteks pembiasaan ini. Diharapkan dengan pembiasaan yang dilakukan secara menyenangkan dan tanpa paksaan, anak-anak memiliki kesadaran ketuhanan.

  1. Patuh kepada orang tua. Untuk anak kecil misalnya dibiasakan bersalaman ketika mau berangkat sekolah atau masuk kelas, atau pamit ketika mau main bersama teman anak tetangga. Ibu-ibu memberi catatan bahwa kepatuhan terhadap pendapat orang tua juga penting. Tetapi hal ini harus disesuaikan dengan psikologi anak, dan yang lebih penting harus didialogkan sebelum orang tua ”menuntut” kepatuhan dari anaknya.

  1. Berakhlak al karimah kepada sesama. Usaha yang bisa dilakukan misalnya:

*      dibiasakan menggunakan bahasa yang sopan dan halus kepada orang yang lebih tua. Dalam masyarakat Madura, penggunaan bahasa halus disebut ”abhesa”. Saya jadi teringat pada D. Zawawi Imron dalam sebuah diskusi, penggunaan bahasa halus akan mendorong orang untuk menciptakan kedamaian. Dengan kata lain, penggunaan bahasa halus akan mencerdaskan emosi karena dalam keadaan marah pun, ia tidak akan menggunakan bahasa kasar dan tidak sopan untuk mengungkapkannya.
*      Dibiasakan untuk menghargai orang lain. Misalnya, tidak menyakiti teman-temannya atau tidak memandang status sosial ketika memilih teman.
*      Dibiasakan untuk selalu berbagi dengan temannya. Contoh kecil, ketika beli jajanan, ia mau berbagi dengan temannya, terutama teman dari kalangan tidak mampu.

  1. Cerdas otak, hati, dan terampil. Tentu saja hal ini tetap disesuaikan dengan perkembangan psikologi anak.

Inilah gambaran anak shaleh ala ibu-ibu KIPAS dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tentu masih banyak ciri lain yang mungkin ”tak terpikirkan” dalam sharing ibu-ibu.

Yang menarik justru ketika mendiskusikan, orang tua yang bagaimana yang bisa mengantar anak menjadi shaleh? Pertanyaan ini menurut ibu-ibu sangat berat. Bukan untuk menjawabnya, tetapi karena terkait langsung dengan tanggungjawab orang tua untuk mendidik anak dalam konteks zaman seperti sekarang. Tetapi dalam sharing yang kedua, ibu-ibu berhasil merumuskan indikator ”orang tua ideal” bagi usaha untuk mengantar anak menjadi shaleh, sbb:

*      Berakhlak al-karimah
*      Mampu menjadi taudan yang baik bagi anak
*      Memahami psikologi dan karakter anak
*      Sabar dan telaten
*      Tidak sering marah
*      Tegas (bukan ”keras”)
*      Rajin mendo’akan
*      Penuh tanggung jawab

Karena tebatasnya waktu, tidak semua indikator di atas bisa di-breakdown dalam sekali pertemuan. Ketika itu yang hangat didiskusikan, bagaimana mendidik anak tanpa kekerasan, tetapi dengan ketegasan. Dalam sharing ibu-ibu ternyata banyak yang melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Secara jujur mereka mengakui sering menjewer untuk menghentikan ”kenakalan” anaknya. Cara itu efektif dalam jangka pendek, tetapi diyakini tidak efektif dalam jangka panjang. Ketika lepas dari kontrol orang tua, anak akan mengulangi perbuatannya, yang selama ada orang tuanya ”ditekan”.

Tetapi pemasalahannya, dalam diskusi itu ditemukan fakta ternyata hampir semua ibu-ibu kesulitan bersikap tegas kepada anaknya. Di satu sisi, ada kecenderungan anak dimanjakan, tetapi pada sisi lain ketika anak ”bandel” diselesaikan dengan ”kekerasan”.

Menyangkut kecenderungan anak yang dimanjakan, budayawan Sujiwo Tedjo pernah menyampaikan pengamatan yang menarik. Menurutnya, hal ini merupakan sisi lain dari keberhasilan program KB. Ketika anak sedikit, orang tua cenderung mencurahkan perhatiannya pada anak tanpa reserve. Semua keperluan anak diselesaikan oleh orang tuanya, meski hanya memakai pakaian, misalnya. Akibatnya anak sekarang sangat manja dan tidak mandiri.

Berbeda dengan orang tua dulu yang rata-rata memiliki lebih dari dari 3 anak. Untuk mengurus anak sampai pada persoalan yang detail atau remeh, orang tua tidak memiliki waktu banyak. Karena situasi ini anak dipaksa untuk menyelesaikan pekerjaan yang bisa dilakukannya sendiri. Bisa dipahami tingkat kemanjaan dan kemandirian anak dulu sangat berbeda dengan anak sekarang.

Perlakuan memanjakan secara cerdik ”dimanfaatkan” oleh anak. Hanya dengan merengek, orang tua sudah luluh mengabulkan semua permintaan anak. Saya terus terang kaget ketika ibu-ibu mengatakan, bahwa rata-rata uang jajan anak-anak mereka lebih dari 5.000 sehari. Pada hal, tingkat ekonomi keluarga mereka layaknya banyak keluarga di desa, biasa saja. Ibu-ibu ketika refleksi sadar, bahwa 5.000/hari telalu besar, tetapi mereka tidak punya daya ketika anaknya merengek dan menangis. Rata-rata mereka berpendapat, kasihan terhadap anaknya kalau hanya menonton teman/anak tetangga jajan, sementara anaknya sendiri tidak.

Perlakuan memanjakan anak ini ketika lebih dalam didiskusikan ternyata muaranya, tidak ada ketegasan. Ibu-ibu sering menerapkan kebijakan ganda, ia dan tidak. Pada hal kebijakan ganda ini akan menjadikan anak juga tidak konsisten. Anehnya ketika ibu-ibu ”keukeh” bilang tidak, sementara anaknya menuntut ia, kekerasan fisik (mulai menjewer, memukul) atau psikis (membandingkan dengan anak lain, melabelli anaknya bandel, nakal, dll) diterapkan untuk menghentikan tuntutan anaknya.

Permasalahan kedua yang juga ditemukan dalam diskusi adalah, terdapatnya perbedaan dalam pola mendidik anak antara ibu-bapak dengan kakek-nenek. Misalnya saja, ibu tegas sementara bapak tidak atau sebaliknya. Atau bisa juga ibu-bapak tegas, sementara nenek-kakek tidak.


Menyangkut keterlibatan kakek-nenek (umumnya dari keluarga perempuan/ibu) dalam pola pendidikan anak, dalam konteks sosial-budaya Madura, sangat sulit dielakkan. Ini terkait dengan budaya masyarakat Madura yang  ”mewajibkan” suami tinggal di rumah mertua. Biasanya sebelum menikah rumah sudah dibuatkan, berdekatan dengan rumah mertua. Rumah-rumah yang berjejer ke samping itu membentuk ”taneyan lanjang” (halaman panjang), suatu istilah sosio-antropologis yang menunjuk pada konsep kekerabatan dalam keluarga Madura.  Jadi, lebih dari sekedar berjejernya rumah dalam pengertian fisiknya.

Dalam pola kepengasuhan anak, keterlibatan kakek-nenek sering mengundang masalah. Tak bisa dihilangkan bahwa watak kakek-nenek terhadap cucunya, dimanapun, cenderung memanjakan. Masalahnya, ketika watak memanjakan out of under control membuat anak cenderung seenaknya sendiri. Anak merasa aman, karena apapun yang dia lakukan telah memperoleh pembelaaan oleh kakek-neneknya, pemangku budaya yang paling berpengaruh dalam keluarga.

Dampaknya, orang tua (ayah-ibu) si anak tidak memiliki daya menerapkan pola kepengasuhannya, termasuk dalam tema yang kita diskusikan, sulit bersikap tegas. Kalau bersikap tegas, mereka harus berhadapan dengan kakek-nenek. Bahkan tak jarang pola kepengasuhan yang berbeda antara orang tua anak dan “mbahnya”, secara terbuka maupun laten memicu konflik. Tentu saja, situasi yang penuh konflik bukan merupakan lingkungan bagus untuk membangun karakter (character building) anak-anak. Di samping itu, anak akan kebingungan, merujuk kepada pendapat siapa dia dalam menentukan sikap? Ayah, ibu, atau kakek-nenek?

Dari sharing kali ini diperoleh gambaran bahwa tegas seakan gampang, tetapi dalam prakteknya terkadang harus mengalami benturan budaya di lingkungan keluarga. Tetapi ibu-ibu sepakat, bahwa yang diperlukan ketegasan, bukan kekerasan. Ketegasan ini juga harus didukung oleh komunikasi yang baik dan kesamaan pandangan antar seluruh penghuni keluarga (bapak-ibu-kakek-nenek), semata-mata, demi anak-anak.

Ketika sharing berahir, saya sungguh memperoleh kepuasan dan kebahagian luar biasa. Sampai putaran ke empat ini, sharing KIPAS berlangsung dengan penuh semangat. Bahkan yang terahir, sharing berlangsung dengan santai, gayeng, dan tanpa beban. Berbeda dengan sebelumnya, yang masih agak kaku. Hal lain yang membuat saya bahagia, putaran keempat juga ditandai dengan banyaknya ibu-ibu baru yang berani menyampaikan pendapat. Sungguh luar biasa, ternyata ibu-ibu desa yang rata-rata lulusan MI/MTs bisa menjadi guru sekaligus patner yang cerdas dalam diskusi.



.