Boom! Emosi ahirnya meledak juga. Teman yang saya kenal tahan banting ditempa pengalaman hidup bertubi-tubi ahirnya menyerah. Ia memutuskan “minggat” bersama istrinya setelah kesekian kali terlibat konflik dengan mertua yang kurang memartabatkannya. Usaha untuk bertahan gagal. Meski kemauan minggat sudah muncul sejak dulu, tapi konflik terahir baru “mewujudkannya”. Ia dan istrinya sudah tidak mampu lagi menegosiasikan hubungan yang saling memartabatkan dengan mertua yang hanya memosikannya sebagai “benda”.
Dari penampakan luar, banyak orang melihat ia dan istrinya bahagia. Hidup dalam keluarga (istri) yang serba berkecukupan. Meski hidup di desa, secara simbolik penanda yang melilitnya melampaui batas geografis. Rumah mewah beserta perabotannya, mobil, perhiasan emas, motor, simpanan di bank, HP terbaru, komputer sekedar contoh bahwa teman saya persis urban middle-class. Bukan layaknya orang desa. Dan satu lagi ia, istri, dan mertuanya sudah naik haji. Haji, bagi banyak orang –apalagi di desa— bukan saja sekedar penanda riligiusitas, simbol kemapanan sosial-ekonomi.
Don’t read the book by its cover. Penampakan luar menipu. Ternyata ia tidak bahagia. Ini bukan sekedar asumsi. Karena ia dan istrinya sendiri pernah bercerita sama istri saya. Ia bermimpi bisa mewujudkan kebahagiaan itu suatu saat, meski harus dilakoni dengan hidup sederhana. Apa adanya.
Tapi saya maklum, nalar banyak orang saat ini terjajah oleh citra daging, lahir, fisik, jasad. Kebahagian diukur, dipertaruhkan, bahkan dikontestasikan dalam wujud benda-benda. Kayak bunyi iklan, “I love my body”. Pantas juga, relasi sosial yang dibangun didasarkan atas dasar kebendaan. Termasuk hubungan mertua-menantu. Dan citra benda ini juga merasuk pada level yang lebih dalam: CINTA. Ternyata semua ini semu. Anggapan banyak orang bahwa ia bahagia, salah.
Sehari setelah konflik dengan mertua, saya menelponnya. Saya belajar menjadi teman yang penuh empatik. Di seberang sana suara teman saya serak. Seakan mewakili babak belur jiwanya, setelah kesekian kali mertua membentur martabatnya. Ia bilang pada saya sudah tidak bisa bertahan.
(Nanti malam saya bersama istri akan pergi
Istri saya sendiri juga sudah tidak tahan
Yang penting saya keluar dari rumah
Soal dimana saya tinggal, itu soal nanti)
Ia memang berasal dari keluarga tidak mampu. Sementara mertuanya berlimpah harta. Tetapi sebagai menantu selama 16 tahun, ia ikut andil membangun bisnis mertuanya. Sayang, sang mertua menafikan fakta ini. Ia tetap ditempatkan pada masa lalunya, sebagai seorang yang berasal dari keluarga tidak mampu. Masa lalu ternyata terang bagi seseorang, tetapi gelap bagi orang lain. Ditangan orang yang berbeda, masa lalu diracik secara berbeda pula.
Istrinya tidak bisa berbuat banyak. Segala cara sudah ditempuh dan dinegosiasikan dengan orang tuanya. Termasuk menjalankan bisnis lain, meski modal hasil pinjam sama orang tua. Bisnisnya sukses. Modal yang ia pinjam sudah impas. Tetapi anehnya, sang mertua mengklaim bisnis yang ia kelola dengan suaminya sebagai milik mertua. Inilah masalah yang makin menjadi “bahan bakar” konflik laten yang kemudian hari meledak.
Malam itu, ia menepati janjinya. Bersama istri ia pergi dari rumah yang bersebelahan dengan mertuanya dan sudah ditempatinya selama 16 tahun. Ia mengaku dilematis. Nenek mertuanya rawan stroke. Anak tunggalnya –seorang gadis yang masih kelas 2 MTs di sebuah pesantren—akan shock jika mendengar berita ini. Tapi ini harus dilakukan. Harga diri dan kemerdekaan mahal harganya. Tak bisa ditukar dengan gelimang harta sekalipun.
Lesson Learned
Seringkali konflik mengiringi relasi antara mertua-menantu. Mungkin hampir semua orang yang berkeluarga pernah memiliki masalah dengan mertua. Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia dimana perkawinan tidak saja mengikat pasangan yang (hendak) menikah. Tapi juga mempertemukan dua keluarga besan. Jadi wajar, jika pasangan ada masalah dengan cepat menjalar ke keluarga masing-masing. Persis api yang menjalar mengikuti tumpahan bensin.
Posisi mertua jelas powerful. Tapi kuasanya sebenarnya tidak sama dengan orang tua sendiri. Posisi mertua saya pikir unik. Mertua menjadi orang tua karena ikatan perkawinan. Karena itu, daya rengkuh emosional dan spiritualnya terhadap menantu tidak sekuat orang tua sendiri kepada anak. Kalau orang tua sendiri di samping ada pertalian darah, ia cukup lama menyemai emosi dan kehangatan batiniyah sejak anaknya kecil. Cinta dan kasih sayang yang tulus menjadi dasar bagi anak untuk menuntaskan rasa hormat yang setulus-tulusnya.
Tetapi kepada mertua tidak. Begitu juga sebaliknya, mertua kepada menantu. Hubungan bapak-anak –karena ikatan mertua-menantu—adalah hubungan yang lebih “rasional” dan “formal”. Hubungan yang tidak menggairahkan emosi. Hubungan yang tidak sepenuhnya diikat atas kedalaman cinta dan kasih sayang. Kering. Bahkan terkadang paradoks. Dekat tapi jauh. Datar`tapi terjal. Harmoni tapi penuh selisih. Kuat tapi lemah. Atas dasar inilah relasi mertua-menantu ber(di)langsung(kan). Makanya terkadang kita dengar mertua bilang sama menantunya, “kamu sudah saya anggap seperti anak sendiri”. Nah! Selama ini memang dianggap apa? Tentu pendapat ini tidak untuk menarik generalisasi. Ada juga kasih sayang mertua tulus sama menantunya.
Tetapi ada baiknya nasehat teman (lain) saya, kita apresiasi. JANGAN TERLALU DEKAT DENGAN MERTUA. Bagaimana kita akan memaknai kata “jangan” di sini? Terus terang saya juga kesulitan mengunyah nasehat itu. Pasti nasehat teman saya berdasar atas pengalaman. Karena ini bukan resep makanan ala Farah Quenn, tentu penerapannya tidak rigid. Saya hanya menduga-duga nasehat teman saya kira-kira maksudnya begini :
§ Jangan terlalu dekat rumah yang Anda tempati dengan rumah mertua (untuk daerah Madura pasti sulit)
§ Jangan terlalu dekat hubungan Anda dengan mertua sehingga mengesankan tak ada jarak
§ Jangan terlalu dekat dengan urusan bisnis mertua
§ Jangan terlalu dekat terhadap orang yang akrab dengan mertua
§ Jangan (apa lagi ya..)
Tips Sederhana
Tetapi bagi yang sudah terlanjur memiliki konflik yang ada hubungannya dengan “jangan” di atas, atau karena masalah lain, tak perlu berkecil hati. inilah tips sederhana yang mungkin bermanfaat:
§ Bersikaplah bijak. Tak perlu dilawan dengan cara kekerasan –kekerasan bahasa sekalipun. Bagaimanapun kita berkewajiban membangun relasi yang saling memartabatkan dengan semua orang, apalagi mertua. Bahkan kalau mertua menggunakan kekerasan verbal, kita tetap harus meresponnya dengan nalar dan emosi yang tepat. Sehingga dari kita juga keluar sikap dan bahasa yang tepat. Bahasa yang santun. Atau lebih tepatnya “bahasa yang menyantuni”.
§ Jangan memublikasikan konflik Anda dengan mertua kepada sembarang orang. Hal ini hanya akan menambahi intensitas konflik. Carilah orang tepat dan mampu menjaga privasi (masalah) Anda.
§ Jika Anda “jantan” negosiasikan sendiri keinginan, harapan, dan kepentingan Anda. Jadikan anak anda –cucunya—sebagai pintu masuk untuk mengurai masalah Anda. Mertua biasanya sangat emosional jika berbicara masalah cucu. Bahkan kecintaan terhadap cucu melebihi kecintaan terhadap anak sendiri.
§ Jika Anda tidak bisa menegosiasikan sendiri, mintalah istri yang menjadi mediator. Banyak dalam masyarakat pedesaan, istri menjadi mediator yang baik ketika sang suami tak mampu melakukannya sendiri karena, misalnya, tidak dekat dengan sang mertua.
§ Jika tidak mampu carilah mediator lain yang disegani oleh mertua. Bisa saudara Anda, istri, atau teman mertua Anda. Tentu saja mereka harus memahami dahulu apa masalahnya, sebelum memediasi kepentingan Anda. Di samping orang ini harus memiliki kemampuan bernegosiasi dan memediasi. Di masyarakat pedesaan kyai biasanya memiliki kemampuan bagus memediasi konlik keluarga.
§ Carilah waktu yang tepat untuk menyampaikan. Jangan paksakan negosiasi dilakukan dalam suasana emosi yang masih meninggi. Tunggu hingga emosi mengendap. Tidak saja emosi mertua tetapi juga Anda. Semoga bermanfaat.
(Informasi baru saya terima: setelah teman saya dan istri minggat semalam ke rumahnya sendiri, ia kembali pulang. Sang mertua menjemputnya, sambil menangis memohon maaf. Sang mertua menyadari kesalahannya berkat usaha anggota keluarga istri teman saya, yang berhasil memerankan kerja-kerja mediasi).
Posting Komentar