Posted by rampak naong - -


Era matinya tradisi kajian di kampus sebagaimana saya tulis di blog ini sebelumnya 
bukan gosip seperti acara infotainment di TV. Jalan-jalan saya ke salah satu kampus negeri di Madura makin menguatkan kesimpulan saya. Sebelumnya saya hampir merevisi kesimpulan ketika seorang dosen teman saya mengajukan pendapat lain. Menurutnya, matinya tradisi kajian hanya terjadi di kampus di kota-kota besar. Di daerah justru mahasiswa memiliki etos belajar yang menggebu. Tetapi pendapat teman saya tadi ternyata tak terbukti.

Tanggal 8 mei saya diminta menjadi “nara sumber” (saya malu menggunakan istilah ini) seminar tentang pendidikan di STAIN Pamekasan, Madura. Seminar ini diadakan menyambut Hari Pendidikan Nasional. Saya bersama nara sumber lain, Masmuni Mahatma, dosen Universitas Parahiyangan Bandung, diminta oleh panitia untuk membahas thema “pendidikan Kritis Transformatif”

Jauhnya jarak tempuh rumah saya ke lokasi acara (Sumenep – Pamekasan) yang kira-kira 70 km, membuat saya datang terlambat. Apalagi sepanjang Sumenep – Pamekasan waktu itu hujan sangat lebat. saya bersama saudara sepupu dan seorang teman harus berhati-hati mengendarai mobil.
Ketika kami tiba di kampus STAIN Pamekasan acara sudah dimulai. Biasa. Dimana-mana kegiatan seminar pasti didahului sambutan-sambutan. Untungnya, ketika kami memasuki auditorium, tinggal sambutan pamungkas. Sambutan Bupati yang diwakilkan kepada Kepala Dinas Pendidikan kabupaten Pamekasan.

Terus terang saya (tidak) kaget. Ketika masuk auditorium mahasiswa yang mengikuti seminar ternyata sedikit. Jauh dengan kapasitas auditorium yang bisa menampung kurang lebih 1500 orang. Mahasiswa ternyata banyak yang berada di luar auditorium. Kebanyakan mereka nongkrong. Membentuk kelompok kecil-kecil antara 3-5 orang. Ada juga yang hilir mudik. Tapi sebagian ada juga yang sedang mengikuti kuliah.

Saya coba cari tahu sama panitia kenapa yang datang sedikit. Panitia juga bingung. Tapi menurutnya, saat ini tradisi kajian dan berorganisasi sudah tidak menarik mahasiswa lagi. Mahasiswa saat ini lebih suka ngobrol tentang “benda” yang menjadi penanda ke-GAUL-an. Pada hal menurut panitia, dalam kasus seminar ini, pihak kampus sudah membebaskan mahasiswa untuk ikut seminar atau kuliah.

Ketika presentasi makalah mulai, suasana dalam auditorium juga tidak hikmat. Satu, dua, tiga mahasiswa mulai banyak yang keluar auditorium. Bisa jadi “nara sumbernya” gak menarik. Bisa jadi auditorium panasnya memanggang. Bisa juga ini gambaran matinya kampus sebagai center of learning.

Kampus nyatanya kian ringkih berhadapan dengan pergerakan cepat banalitas modernisme yang menghipnotis warganya dan membekuk kesadaran kritisnya. Atau kampus jangan-jangan juga telah memeroduksi banalitas itu dengan misalnya, memanggang kritisime warganya untuk cepat selesai kuliah (makanya ada short semester). Membanjiri kesadaran warganya dengan nyanyian indah pengetahuan yang lepas dari konteks sosial-budaya di sekitarnya. Keagungan hanya digelar dalam wujud huruf-huruf IP yang tinggi?

Pada hal, di dalam auditorium sedang panas-panasnya tangis penyesalan atas matinya pendidikan kritis transformatif (?)