Posted by rampak naong - -


Jelang pemilihan bupati kabupaten Sumenep, desa saya di kecamatan Gapura, kedatangan tim salah satu pasangan calon yang masuk putaran 2. Tim sukses itu bertemu dengan sebagian warga desa yang difasilitasi oleh kepala desa. Menurut salah satu aparat desa kepada saya, para undangan yang hadir ke pertemuan itu diberi beras, mie instant, dan uang. Tentu saja setelah tim sukses “jual kecap” memohon warga agar memilih calon yang diusungnya.
Ketika buka account FB, seorang teman saya, menulis status , persisnya saya lupa, tetapi maksudnya kira-kira seperti ini: “pasangan calon bupati ..... (penulis rahasiakan namanya) sedang bagi-bagi beras di wilayah barat. Lumayan bisa mengurangi warga yang kena busung lapar”. Pasangan cabup yang teman saya maksudkan ternyata sama, cabup yang menjajakan beras di desa saya.
Satu hari paska pencoblosan, suara-suara bahwa cabup menjajakan kekuasaannya dengan uang semakin santer. Di desa teman yang kira-kira 7 km ke arah timur desa saya lebih “mengerikan”. Warga bisa “dibeli” suaranya oleh tim cabup dengan rokok kretek seharga Rp. 3.500/bungkus atau satu bungkus mie instant. Saya hampir tak percaya, sebegitu murahkan “harga diri” cabup dan warga (yang terahir sebenarnya korban) yang melakukan transaksi kekuasaan dengan sebungkus rokok dan mie instant?
Makin hari makin benderang. Informasi praktek demokrasi upahan ini berlangsung dimana-mana. Menyeluruh di wilayah sumenep mulai sejak desa-kota atau daratan-kepulauan. Diam-diam atau terang-terangan. Liar hingga resmi seperti yang difasilitasi kepala desa. Praktek ini berlangsung di tengah-tengah seruan membangun pemerintahan yang bersih, ajakan membangun demokrasi yang  fair, atau himbauan melangsungkan pemilukada yang damai.
Demokrasi upahan ini terus menggelinding. Tak cukup warga. Informasi yang saya terima penyelenggara pemilukada juga tak tahan oleh gempuran demokrasi upahan. Beberapa penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan berkumpul di salah satu rumah makan di kabupaten lain bersama salah satu tim calon. Jika benar, sungguh tindakan yang memanggang etika. Meleburkan batas-batas jujur-bohong, netral-berpihak, atau wasit-pemain.
Saya juga menangkap keanehan. Panwas sejak di tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa (seolah-olah) tidak menemukan satu kasus pun. KPU sekedar menjadi mesin pekerja, tanpa memiliki visi yang jelas untuk membangun demokrasi yang fair dan substansial. Pada hal dua lembaga inilah yang paling bertanggungjawab terhadap pelaksaan pemilukada.
Pakon dan Pakan
Hasil bincang-bincang saya dengan orang desa, fenomena demokrasi upahan tumbuh berbiak karena dua hal. Pertama, warga sudah sangat a-politis. Cuek sama urusan pemilu. Males mau hadir ke TPS. Toh yang jadi nanti sama saja. Mending kerja saja. Cari nafkah. Jadi wajar, jika data menunjukkan bahwa rata-rata yang tidak hadir ke TPS kisaran 40-60%. Fakta ini merata di hampir semua TPS. Di desa tetangga saya, misalnya, jumlah yang tidak menggunakan haknya sekitar 900 orang dari total hampir 3.000 pemilih.
Tapi, tim sukses tak kalah cerdik. Mereka dekati warga yang a-politis ini. P-to-P. Tinggal bilang:  “Terimalah rokok dari kami, sekedar ucapan terimakasih atas waktu yang digunakan Anda untuk hadir ke TPS”. Beres. Sebagian mereka datang ke TPS. Kemudian menyoblos calon seperti permintaan tim sukses. Jadi, rokok atau mie instant itu sekedar pakan sebagai imbalan dari pakon yang diinstruksikan.
Kedua, gambaran sempurna dari menguatnya pragmatisme. Ke-se-sa-at-an dan pola pikir jangka pendek telah melumpuhkan nalar sehat. Memangkas orientasi hidup hanya sampai di sini, kini, dan sekarang. Tak perlu mikir di sana, besok, atau masa depan. Paragmatisme dalam derajat yang sangat ekstrim bahkan berani memutus keyakinan teologis bahwa, laku kita sekarang akan dipertanggungjawabkan di akhirat, kelak.
Maka, calon tak perlu capek-capek membangun basis dukungan dengan menerjemahkan ideologi, visi serta missinya yang bisa menggerakkan warga memilihnya. Ini butuh waktu lama. Ini juga butuh calon yang mem-basis. Jalan pintasnya, lakukan saja demokrasi upahan. Singkat. Sesaat. Tapi “menjanjikan”. Cuma demokrasi upahan membutuhkan uang. Tapi uang bisa dikumpulkan juga dalam waktu sesaat. Tinggal menulis proposal kepada pemilik modal, beres.  Toh Sumenep kaya dengan kandungan migas yang menggelegak di dasar buminya.
Terus warga? Tak perlu repot. Pemiskinan struktural yang terus dilestarikan menjadikan warga sulit keluar dari kungkungan “kesekarangan”. Demokrasi upahan setidaknya menjadi penghibur dari mimpi panjang mereka akan lahirnya “pemimpin godot”, messiah, ratu adil, atau apapun namanya. Lengkap. Sudah jatuh, ketimpa tangga pula. Dan lebih parah lagi, tangganya juga sudah dicuri sejak dari dulu.
Pemilukada di kabupaten Sumenep (14/6) sudah usai. Seperti dugaan banyak orang, akan terjadi dua kali putaran, meski putusan akhir masih harus menunggu sidang MK, karena gugatan salah satu pasangan terhadap pelaksanaan pemilukada di kepulauan. Tetapi siapapun pemenangnya, putaran kedua akan lebih panas. Benturan, gesekan, konflik, bahkan kekerasan sangat mungkin terjadi jika para calon menggunakan cara-cara yang tidak bermartabat dengan mempertontonkan demokrasi upahan. Apalagi realitasnya, pemilukada bukan sekedar perebutan kekuasaan elit lokal. Tetapi juga pertarungan pemodal dan elit politik yang ada di Jakarta.
Adakah yang bisa kita lakukan?