Posted by rampak naong - -

Perhelatan konferensi NU Sumenep (29/5) baru saja usai. Tetapi pemilihan ketua Tanfiziyah yang sangat dramatis menyisakan banyak hal yang sangat penting direfleksikan. Belum lagi pelaksanaan konferensi yang diadakan – 15 hari menjelang pilbup. Aroma kepentingan politik praktis semerbak tercium, sesuatu yang pasti sulit dihindari.


Satu hal yang membahagiakan, ternyata NU masih kuat. Warga NU masih sangat mencintai organisasi yang didirikan oleh para ulama ini. Inilah yang saya saksikan dalam konferensi yang diikuti oleh hampir 300 MWC dan ranting se kabupaten Sumenep. Konferensi yang menggambarkan “situasi riil” bagaimana NU dipersepsikan, dipandang, sekaligus direngkuh hingga ke dasar bathin pengikutnya; warga NU di tingkat basis.


Jauh hari sebelum perhelatan konferensi, ada seorang teman ketua MWC yang telpon saya. Dia bercerita, tim sukses salah seorang calon yang dikenal ambisi jabatan bergerilya ke ranting-ranting di daerahnya. Singkatnya, ketua ranting NU dilobby agar memilih ketua yang diusung tim sukses itu. Apa jawab ketua ranting? “ Mas, konferensi bukan pilkada. Cara-cara sampeyan ini cukup di pilkada, jangan di tradisikan di NU. Kita semua berkewajiban menjaga NU. Dan saya sudah punya calon sendiri yang tepat memimpin NU”. Calon yang disebut ketua ranting ini (sebut saja PT) memang merupakan calon terkuat karena didukung mayoritas MWC dan ranting.


Kena. Jawaban ketua ranting NU bagi saya sangat cerdas. Saya membayangkan pasti tim sukses yang kebetulan saya kenal itu tersipu malu. Tim sukses itu lupa. Konferensi NU bukan pilkada. Bukan pula konferensi partai politik. Membawa tradisi pemenangan ala politisi ke dalam NU sangat tidak masuk akal. Dan penolakan ketua ranting NU itu sangat tepat. Ia menjaga muru’ah (kehormatan) NU dari kepentingan yang tidak ada sangkut pautnya dengan usaha membesarkan NU. Satu usaha penjagaan muru’ah NU yang justru datang dari ketua ranting, orang desa, dan warga NU yang tidak bermaksud menjadi selebriti. Apalagi mencari keuntungan dari NU yang sangat dicintainya.


//Saya akan buka sedikit profil tim sukses. Masih muda. Alumni PMII. Selama di PMII dikenal sangat aktif dalam aksi-aksi mahasiswa. Terus terang saya tidak punya jawaban, begitu beraninya alumni PMII saat ini mengembangkan tradisi demokrasi ala pilkada di NU? Saya melihat fakta ini tidak saja di konferensi. Di Muktamar NU di Makassar saya yakin banyak alumni PMII menjadi tim sukses calon tanpa visi. Belakangan saya melihat alumni PMII muncul sebagai kader yang tidak berkarakter. Penting para alumni PMII mengevaluasi kurikulum pengkaderan. Jangan-jangan masalahnya berawal dari situ//


Di hari perhelatan konferensi NU, calon yang dikenal ambisius (sebut saja HB) itu tetap santer mau maju. Di belakangnya berdiri beberapa alumni PMII yang terus melakukan black campaign. Saingannya adalah tokoh yang sangat dikenal di tingkat basis, karena sering memfasilitasi workshop penguatan MWC dan ranting. Selama ini ia dikenal sebagai tokoh yang sangat setia mengawal khittah NU. Rekam jejaknya menjadi bukti, ia tidak pernah aktif di partai politik. Menjadi tim sukses sejak pilpres, pilgub, hingga pilbup juga tidak pernah. Visi kerakyatannya juga sangat kuat.


Sayang, di tangan tim sukses lawan ia dicitrakan lain. Ia dikampanyekan “Islam liberal”. Yang paling menyakitkan, ia juga dituduh didukung salah satu calon bupati yang sudah “membeli” suara MWC dan ranting. Pada hal saya tahu sendiri. Calon kuat ini tidak pernah membentuk tim sukses. MWC dan ranting sendiri yang memintanya menjadi calon. MWC dan ranting pula yang mengawalnya hingga jadi.


Sadar tidak cukup kuat melawan calon kuat yang didukung arus bawah (MWC dan ranting), mereka memunculkan nama lain (sebut saja KM). Nama ini pun tidak begitu dikenal di tingkat basis, meski dulu pernah menjadi pengurus lembaga PCNU Sumenep. Sudah lama tidak aktif, dan hari itu (di)muncul(kan) kembali. Pemunculan nama ini dimaksudkan untuk memecah calon kuat yangdidukung mayoritas MWC dan ranting. Menjelang pemilihan, calon kuat yang muncul ahirnya menjadi 3 orang.


Makin dekat pemilihan, suasana makin menegangkan. Tim sukses calon ketua yang sangat ambisius dan juga calon yang dimunculkan sangat agresif bergerilya mencari dukungan ke MWC dan ranting yang sudah punya calon sendiri. Memang 2 calon yang tidak membasis itu sudah mengantongi dukungan dari beberapa ranting. Tetapi itu tidak cukup kuat. Itulah yang menjadikan tim suksesnya sangat agresif bergerilya.


Setelah pemilihan tahap pertama, MWC dan ranting pendukung PT, calon ketua terkuat, sangat panik. Ternyata dua calon lain –HB dan KM—yang diduga tidak akan mendapat banyak suara, muncul sangat mengejutkan. PT memang memperoleh suara terbanyak, 132 suara. Sementara HS 48 suara dan KM 88 suara. Tetapi karena batas minimal dukungan untuk maju ke putaran 2 hanya 30 suara, 3 orang ini otomatis lolos.


Menjelang putaran 2 lobi-lobi masih gencar. Di rumah salah satu keluarga KM, tak jauh dari lokasi konferensi, ada pertemuan “diam-diam” antara tim sukses HB dan KM. Ternyata mereka menyepakati koalisi. Benar, ketika pimpinan PWNU Jatim meminta kesediaan semua calon menjadi ketua NU, HB menyatakan tidak siap. Sementara KM dan PT siap maju di putaran 2. Sontak pendukung PT panik. Hitung-hitungan di atas kertas, suara HB jika digabung dengan suara KM akan mengalahkan suara PT. Memang di luar 3 calon ini ada suara calon lain tetapi tidak signifikan, jauh di bawah batas minimal 30 suara.


Ketika penghitungan putaran 2 dimulai, pendukung PT semakin tidak tenang. Pasalnya, KM sudah mengantongi 14 suara, PT masih 1 suara. Tetapi setelah itu suara PT terus naik. Peserta konferensi dibuat tegang karena hingga ahir penghitungan suara, dua calon ini terus kejar-kejaran. Arus bawah pendukung PT yang pada awalnya pesimis menang, kembali bersemangat ketika pada hitungan seratus ke atas mampu menyalip KM. Dan suara shalawat bergema ketika suara PT tidak bisa dikejar lagi oleh KM. PT menang dengan selisih 18 suara.


Menyambut kemenangan PT yang sangat dramatis, sontak saja MWC dan ranting pendukung merasa lega. Meski di atas kertas kalah, ada “keajaiban” PT akhirnya menang. PT memperoleh 154 suara, dan KM mendapat 136 suara.


Saya mengamati kemenangan PT yang sangat dramatis ini, tak lepas dari kegigihan ranting NU yang memperjuangkannya. Cara-cara politisi ala pilkada ditolak justru oleh orang kecil seperti “tonjokan” salah satu ketua ranting yang saya gambarkan di atas. Bagi saya, merekalah sebenarnya penyelamat NU. Pencinta NU tanpa pamrih. Meresap hingga ubun-ubun, bukan sekedar “sirkus bahasa” di lisan. Merekalah sebenarnya penjaga muru’ah NU.


Kadang saya geram. Kenapa para elit NU dan aktivis muda NU tidak mau belajar pada keikhlasan pengurus-pengurus ranting yang demikian tulus? Justru memolitisasi NU atau sekedar menjadikan NU sebagai kendaraan? Saya jadi ingat mbah Muchit Muzadi. Mbah Muchit ketika menjadi pengurus NU meniati untuk “ndandani awak, ora golekno iwak”. Menjadi pengurus NU itu untuk mendidik diri (menjadi baik), bukan untuk cari keuntungan duniawi.
Ah..Malu Saya!!!

One Response so far.

M. Faizi mengatakan...

Iya, Mas. saya dari keturunan Masyumi yang mencintai dan menghormati NU.