taken from google |
Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina yang masih sangat muda itu, menggagas sebuah ide menarik untuk mengembangkan leadership anak muda yang ia beri nama “Indonesia Mengajar”. “Indonesia Mengajar” saat ini sedang menjaring fresh graduated untuk dikirim ke desa-desa selama satu tahun. Di sana, mereka diminta melatih diri dengan mengajar siswa-siswa SD dan mengabdikan diri pada masyarakat sekitar sekolah. Indonesia Mengajar punya missi menyiapkan kepemimpinan masa depan bagi masa depan Indonesia.
Program ini diharapkan berdampak ganda. pertama, sama seperti pendahulunya, Cak Nur, Anis memandang pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Pertaruhan bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh pendidikan. Sayang, dalam realitasnya pendidikan tidak diseriusi dengan kesungguhan oleh bangsa kita.
“Indonesia Mengajar” mencoba mengisi kekosongan ini. Kenapa yang dipilih SD? Tentu karena pendidikan formal yang pertama dan utama yang harus dikuatkan adalah sekolah dasarnya. Pelayanan pendidikan yang baik di sekolah dasar akan memberikan dasar yang kokoh bagi usaha pembelajaran pada jenjang pendidikan di atasnya. Saya jadi teringat romo Mangun. Ia pernah berujar, tidak apa-apa SMP hingga Perguruan tinggi ambruk, asal SD kokoh dan kuat dasarnya.
sekolah gedek (berdinding bambu) di desa kolpo Sumenep |
Kenapa SD pedesaan? Karena SD pedesaan yang sampai saat ini paling didiskriminasi. Seluruh sumber daya –manusia maupun pendanaan—dikonsentrasikan di sekolah-sekolah perkotaan. Dengan tiadanya sumberdaya –apalagi masyarakat pedesaan yang paling mengalami deraan akibat liberalisasi ekonomi—bagaimana mungkin sekolah di desa akan mengimbangi sekolah perkotaan?
Sementara bagi kaum muda, yang mengikuti program ini, diharapkan bisa menempa diri menjadi pengabdi, men-share pengetahuannya kepada orang-orang yang terpinggirkan dengan mengajar anak-anak SD di desa, dan terlibat dalam pelayanan sosial pada masyarakat sekitar sekolah. Selama satu tahun, jika dilakukan sepenuh hati dan rendah hati, akan memberi banyak pengalaman yang tak terbayangkan bagi peserta program ini.
Setidaknya saya membayangkan ada tiga hal yang bisa diperoleh. Pertama, mental tahan banting. Mengajar anak SD saya tahu butuh kesabaran luar biasa. Khas anak-anak. Mereka suka ribut, rame, tidak pernah diam atau selalu ingin bergerak. Orang yang tidak memiliki kesabaran level tinggi akan dibuat frustasi oleh ulah anak-anak. Kegagalan yang banyak terjadi dikarenakan, memaksa anak-anak melakukan sesuatu sebagaimana orang dewasa lakukan. Mengajar anak-anak akan menempa kesabaran yang pada akhirnya akan mengenyalkan mental tahan banting.
Kedua, kepekaan. Dengan diterjunkannya anak-anak muda ke desa-desa yang terpinggirkan akan membuka hati dan pikiran mereka tentang situasi yang hanya mereka perbincangkan di ruang-ruang ekslusif. Sekarang mereka harus live in.
Ketiga, keterampilan mengorganisir. Mengajar dan terlibat dalam pelayaan sosial menuntut kemauan keras untuk belajar mengorganisir. Keterampilan mengorganisir melibatkan banyak aspek keterampilan lain, misal : keterampilan memfasilitasi, komunikasi, lobby, negosiasi, bertanya, membangun dinamika kelompok, dll.
Tiga hal di atas tentu akan sangat berguna bagi kaum muda ketika mereka menjadi pemimpin di bidang apapun di kemudian hari. Inilah sebenarnya missi besar yang dicitakan oleh penggagas Indonesia Mengajar.
Karena itu, penggagas Indonesia Mengajar akan memberikan pelatihan bagi peserta sebelum mereka diberangkatkan untuk menemani komunitas yang selama ini dimarginalkan. Saya membayangkan dalam pelatihan itu peserta akan banyak memperoleh pengetahuan tentang metodologi pembelajaran yang paling up to date, bahkan. Tetapi yang terpenting bagi saya sebenarnya adanya kesiapan non-tehnis.
kantin jadi sekolah di salah satu SD di Sumenep |
Satu hal penting yang patut diangkat, persolan mindset. Bagaimana peserta Indonesia Mengajar memandang anak-anak pedesaan dan masyarakat desa? Dengan cara apa dan bagaimana ia mendefinisikannya? Harus diakui peserta Indonesia Mengajar berasal dari urban middle class yang berpikir dan bercita rasa khas urban. Serba rasional, underestimate sama tradisi, sok tahu, rasa PD yang tinggi, gaya modis, dan seterusnya.
Di samping penggagas berkewajiban memberi pelatihan kepada peserta Indonesia Mengajar bagaimana mengajar yang baik, yang tak kalah pentingnya menurut saya adalah merubah mindset mereka tentang orang desa. Cara memandang bagaimanapun akan menentukan relasi. Gagal merubah mindset ini, missi Indonesia meng(h)ajar, sama buramnya.
Terakhir, gagasan ini sangat menarik. Dilakukan secara massif dan diorganized dengan cukup rapi dengan jejaring yang juga cukup kuat. Meski bagi kalangan pesantren, gagasan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan aneh. Pesantren sejak dahulu, tanpa gemerlap publikasi, sudah melakukannya. Semoga sukses.
One Response so far.
Hidup pesantren.. Hidup orang desa.. :)
Posting Komentar