Posted by rampak naong - -

Pertanyaan sederhana, kenapa sarung dan bukan jubah, seperti di Timur Tengah? Terus terang saya tidak tahu bagaimana aspek historisnya sehingga sarung menjadi “identitas” muslim Madura, atau lebih luas lagi muslim Indonesia.

Saya yang “kebetulan” menjadi Indonesia yang lahir di Madura “mengalami” sarung sejak kecil. Tepatnya sejak saya mengaji di surau. Sarung juga diperkenalkan pada anak kecil ketika sudah mulai belajar shalat. Saat itu saya tidak bisa mengenakan sarung sendiri. Tidak saja karena ukuran sarungnya yang terlalu besar, tetapi mengenakan sarung memiliki seni tersendiri. Di sinilah anak kecil seusia saya dahulu gagal menangkapnya.
Mengenakan sarung tentu saja tidak sama dengan celana. Juga tidak sama dengan jubah. Dua pakaian yang disebut terahir ini lebih mudah mengenakannya. Tetapi sarung butuh keahlian tersendiri. Yang sulit ketika memintal gulungan kecil yang harus pas di lingkaran perut. Jika pintalan terlalu besar, gulungan sarung akan besar. Gulungan akan kentara terlihat meski di luarnya sudah tertutup baju. Belum lagi “ancaman” kedodoran.  Sebaliknya jika terlalu kenceng, perut terasa sakit. Mungkin disebabkan peredaran darah di perut kurang lancar.
Karena itu, ketika kecil, mengenakan sarung butuh bantuan orang tua. Tetapi anak kecil juga harus terlibat. Terutama katika sarung akan dipintal di lingkaran perut, maka tengahnya sarung –yang pas berada di pusar— harus ditarik ke atas dan “menguncinya” dengan menggunakan dagu. Ini adalah tugas anak kecil. Orang tua yang membantu anaknya mengenakan sarung, pasti mengingatkan ini. Cara ini digunakan untuk memastikan bagian bawah sarung, ketika selesai digulung, rata melingkar dengan serasi di bagian bawah badan.
Ketika saya akil baligh –pertanda saya remaja—saya harus menjadikan sarung pakaian sehari-hari. Sarung menjadi jaminan keberagamaan saya untuk menunaikan perintah agama menutup aurat. Sekali lagi saya tidak tahu asal-usulnya. Saya cuma melihat seluruh masyarakat di sekitar saya mengenakan sarung. Bukan jubah.
Jika sebagian kecil ada yang menggunakan jubah, itu hanya di waktu shalat jum’at dan shalat ied. Biasanya pak haji. Tetapi tak ada kesan dari pak haji bahwa pakaiannya lebih islami dari orang yang mengenakan sarung. Begitupun yang menggunakan sarung tak merasa “minder” akan dianggap kalah kelas dari pakaian jubah. Sungguh saya tak merasakannya. Meski saya harus akui, melihat orang berjubah nampak terasa asing bagi saya. Kayaknya bukan seperti orang Madura.  
Sarung memang pakaian. Tetapi bagi saya sarung bukan sekedar pakaian. Sarung jauh melampaui fungsinya. Sarung telah mengajari saya arif memahami konteks di mana saya berada. Mendekatkan saya dengan masyarakat, bukan mengasingkan.
Sarung juga menjadi jalan yang membuka saya berkenalan dengan agama. Ketika saya mengaji, saya dibelikan sarung oleh orang tua untuk dikenakan. Lebih-lebih ketika saya akil baligh dimana saya harus mempertanggungjawabkan keberagamaan saya secara individual, sarunglah yang “menyelematkan” saya. Itu harus ditunjukkan oleh saya dengan menutup aurat yang diperintahkan agama. Sejak itu sarung sudah menjadi pakaian sehari-hari.
Sarung juga menjadi ekspresi keagamaan yang ramah budaya. Bermula dari sarung, saya kemudian berlanjut mengenal “tradisi kaum sarungan”. Tahlilan, kenduri, barzanji, talqin, manaqib, cium tangan kiai, ziarah kubur, dan tradisi lain yang sering dianggap “bid’ah” oleh wahabi. Bermula dari sarung jugalah saya kemudian kenal dengan sistem pengetahuan keagamaan yang sangat apresiatif sama tradisi dan budaya.
Sarung mendorong lanjut imaginasi saya. Saya bangga menjadi muslim dan menjadi Indonesia sekaligus, bersama saudara lain yang membayangkannya. Mungkin karena bersarung pula, saya mudah memahami argumentasi para kiai, yang juga mengenakan sarung, ketika memutuskan bahwa Indonesia dengan pancasilanya adalah final bagi perjuangan umat Islam di Indonesia. Sarung benar-benar telah mengajari saya bagaimana Islam dan lokalitas berdialog dan bernegosiasi. Tanpa harus benturan. Apalagi dibenturkan