google.com |
/“menikahlah, kamu sudah cukup dewasa, apalagi yang kamu tunggu?”.
“kapan nikah? Sebentar lagi kiamat lho.”
“Ha..ha...kasihan...sudah tiga puluh tahun tapi fungsinya cuma buat pipis”.
“kamu idealis sih. Makanya gak laku-laku”/
Menyikapi pertanyaan bertubi-tubi, respon orang (yang belum menikah) bisa macam-macam. Ada yang marah, tersinggung, biasa saja, atau mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Yang paling sial, ketika ada reuni bersama teman sekolah misalnya, yang kebetulan sudah menikah duluan dan punya anak. Datang, silau. Gak datang, juga gak nyaman.
Beban psikologis orang yang tidak menikah pasti ada. Hidup dimanapun Anda. Di kota dan desa sama. Meski dalam derajat tertentu, bebannya bisa berbeda-beda. Di kota dengan kerumunan orang yang tidak saling mengenal, mungkin gunjingan tidak ramai. Kalau di desa, karena kehidupannya yang guyub, dengan mudah orang akan mengetahuinya. Gosip terhadap orang belum menikah akan merata. Tidak tanggung-tanggung, sekampung.
Orang belum menikah tentu ada alasannya. Setidaknya saya mengamati ada 8 alasan kenapa orang belum memutuskan menikah.
Pertama, Belum ada yang cocok. Belum ngepas. Tentu cocok dan tidak cocok sangat subyektif. Meski kita bisa mengajukan pertanyaan, kenapa gak cocok? Jawabannya kadang tetap tidak bisa mengerti.
Ketika bilang “gak cocok” berarti sudah ada usaha. Satu atau dua kali usaha mungkin bisa kita terima. Lha..kadang sudah makan banyak korban, masih belum ada yang cocok. Saya jadi curiga, alasan gak cocok hanya perisai untuk menutupi ketidakmampuannya mengambil sebuah keputusan.
Kedua, belum dapat kerja. Ini yang jadi momok. Masalahnya, hampir setiap calon mertua ketika kita melamar pasti dengan garang akan bertanya, “kerja dimana?”. Pertanyaan ini terus bercabang. “Jika belum kerja, anak saya akan kamu kasih makan apa?”. Tentu kerja yang dimaksud di sini, jenis pekerjaan mapan. Suatu limpahan materi yang bisa menyulap rumah bagus, mobil bagus, dan seterusnya.
Ketiga, Karena trauma. Pengalaman dengan calon pendamping sebelumnya yang menorehkan luka membuat ia kapok dan patah arang. Atau pengalaman keluarga –misalnya bercerai— bisa juga mewarnai cara pandangnya melihat pernikahan. Pengalaman ini kemudian menjadikannya melakukan generalisasi. Semua sama. Tak ada pintu lagi untukmu.
Keempat, hawatir kebebasannya terampas. Pernikahan dipersepsikan sebagai institusi yang akan membekuknya. Membatasinya. Mengaturnya. Ah..sayang kan, jika kebebasan menguap saja hanya untuk alasan pernikahan? Begitu kira-kira cara pikirnya.
Kelima, memiliki orientasi seksual yang berbeda. Secara teologis, saya memandang persoalan ini sulit dibenarkan. Meski demikian, saya tetap (mencoba) memahami. Pasti ada konteks historisnya, kenapa sebagian orang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Tetapi tak ada jalan yang gak mungkin, jika berusaha.
Keenam, Sengaja menunda, karena kebetulan mengejar karier. Mengejar karier harus fokus. Baik konsentrasi, pikiran, dan tenaga. Jika menikah diyakini akan mengganggu keseimbangan fokusnya. Sebaliknya akan bercabang dan pecah. Karena itu, tuntutan karier harus berjibaku dan harus bisa menundukkan libido.
Ketujuh, pilihan. Mungkin yang terahir ini sangat sedikit. Yang terahir ini, saya jadi inget teman sekampung. Meski usia sudah kepala empat, sampe sekarang masih lajang. Saya belum pernah melihat dan mendengar dia memiliki hubungan dengan perempuan. Satu hal yang dilakukannya setiap hari, PUASA. Kecuali hari-hari tasyrieq (hari-hari yang memang diharamkan puasa). Ibadah ritualnya juga kuat. Sekuat ibadah sosialnya.
Saya percaya jodoh memang misteri. Jodoh termasuk rahasia Tuhan. Kadang-kadang kita sudah mencari jauh-jauh, eh..malah dapat tetangga sendiri. Karena sifatnya yang misteri, memohon kepada Allah agar digampangkan jodoh –tentu saja yang baik—merupakan keharusan. Kepada Anda yang kebetulan masuk dalam katagori yang tujuh di atas, selama masih ada niat, Insyaallah akan menemukan jalan.
Menikah itu indah kawan. Kebahagiaan yang hadir bukan sekedar berhenti di level fisik atau seks. Tetapi menyelusup hingga ke ruang paling dalam. Ruang dimana ketenangan batin menemukan lokusnya. Sesuatu yang tidak bisa diceritakan, karena bahasa tak mampu menampungnya. Pengalaman yang bisa menjawabnya.
Posting Komentar