Posted by rampak naong - -

Suami-istri. Bertahun-tahun pun hidup bersama membangun keluarga harmoni, pasti ada mesteri. Rahasia. Suatu ruang gelap dimana suami atau istri sulit menembus dan memahami pasangannya.

Wajar jika suami atau istri bilang, “sudah 15 tahun bersama, kok kamu belum ngerti aku sih?”. Jangankan 15 tahun, sampai mati pun kebersamaan suami-istri tidak dijalani melulu dalam dunia yang terang benderang. Ada gelap. Ada mendung.

Itulah berkah. Bayangkan jika suami atau istri mengenal dan memahami seluruhnya, sampai jumlah ubannya diketahui, tak ada lagi mesteri. Jika mesteri hilang, apalagi yang menarik. Sepertinya aura pasangan kita juga lenyap. Keunikan tiarap. Ah..tak ada lagi sesuatu yang bikin kita terkejut. Terpana. Terperangah. Heran. Maka kita hanya bertemu dalam wujud daging. Sebatas jasad. Gimana jika ketemu jasad tanpa roh? Hih..serem.

Konflik? Pasti. Kata orang tua dulu, piring saja lebih dari satu ngumpul bisa bunyi, apalagi manusia. Lengkap dengan pikiran dan perasaannya. Dengan segenap emosi dan kesadarannya. Wajar, jika konflik selalu mengiringi. Sepanjang usia perkawinannya.
Kadang masalahnya sepele. Misalnya, hanya masalah mainan anak yang tercecer satu di lantai. Suami dan istri bisa meresponnya berbeda. Kadang suami galak, istri lembut. Atau sebaliknya, istri galak-suami lembut.

Saya membaca, letak persoalannya bukan pada benda mainan yang sepele itu. Tetapi pada situasi batin suami dan istri yang mungkin waktu itu lagi tidak nyaman. Mainan anak hanya sasaran katarsisisme, meluapkan emosi yang mengendap dan dalam ancaman.
Kadang masalahnya besar. Menyita pikiran dan perasaan. Mengendapkan kesumat dan dendam. Membisikkan amarah dan rasa benci. Pada orang yang kadung berjanji mau sehidup semati.

Semakin gawat, jika masalahnya melebar. Meluas hingga ke keluarga si suami dan ke keluarga si istri. Menyapa dengan garang anak-anak sendiri yang sejatinya dilimpahi kasih sayang. Suasana pun tegang. Seperti Korea Utara dan Korea Selatan. Rumah seperti neraka. Karena kebencian dan amarah telah menjadi kayu bakarnya.

Di sini kesetiaan diuji. Menghargai dan memahami saya rasa adalah kata kuncinya. Komunikasi dan dialog adalah medianya. Kehendak untuk menghargai dan memahami dan kehendak berdialog dan berkomunikasi, adalah wujud dari kedewasaan. Siapapun yang memulai.

kompas.com
Ada tips yang mungkin bermanfaat, ketika keluarga kita dirundung konflik. Tips ini saya timba dari pengalaman orang tua, sahabat, tetangga khususnya yang berhasil mentransformasikan konflik.
  1. Jika Anda konflik dengan pasangannya, usahakan salah satu mengalah. Pergilah sebentar, sekedar menghindar dari pancingan amarah yang berlebih. Berkomunikasi dan berdialog dalam situasi marah, jelas tidak bisa. Boleh anda ke kamar lain, atau sekedar main ke sahabat terdekat.
  2. Jangan pernah menceritakan konflik Anda kepada siapapun. Termasuk kepada orang tua sendiri. Cerita Anda yang pasti subyektif, akan ditanggapi lebih subyektif oleh pendengarnya. Jika masalah meluas, akan menjadi bola liar yang tiba-tiba memantul kembali kepada Anda dan keluarga. Belum lagi orang yang kadang mencari keuntungan dari konflik keluarga Anda. Terkadang justru sahabat Anda sendiri.
  3. Jangan pernah konflik terbuka, bertengkar, apalagi melakukan kekerasan terhadap di hadapan anak-anak Anda. Pertengkaran Anda hanya akan menggoncangkan kesadaran anak-anak Anda. Menghilangkan keseimbangan hidupnya. Merekamnya dalam alam bawah sadar, yang suatu saat ketika dewasa ledakannya bisa lebih dahsyat. Ingat, pola kepengasuhan orang tua kepada anak akan menjadi model pola kepengasuhan ia kepada anaknya nanti.
  4. Jika emosi dan amarah sudah mereda, dialog dan komunikasi harus dilakukan. Dialog sebaiknya tepat pada akar masalah. Hasil dialog jadikan konsensus, biar konflik bisa ditransformasikan. Konsensus akan menjadi kode etik untuk memandu konflik serupa tidak terjadi lagi. Ingat, dialog bisa dilakukan dalam kesetaraan. Bukan menang-kalah. Kuat-lemah.
  5. Kalau mentok, carilah orang yang Anda yakini mampu memfasilitasi masalah Anda dengan obyektif. Bisa tokoh masyarakat, psikolog, atau keluarga Anda yang bisa bersikap netral sama masalah Anda.
  6. Hati-hati terhadap sebagian sahabat, tetangga, teman kantor, atau “bekas-bekasan” yang kadang mengambil keuntungan dari prahara keluarga
  7. Selalu memohon do’a, petunjuk, dan kekuatan sama Yang Maha Kuasa untuk bisa membangun sorga dalam keluarga kita.