suramadu malam hari (google.com) |
Kata orang tua dulu, malam diciptakan oleh Tuhan agar manusia bisa beristri(rahat). Mencoba menidurkan segala penat setelah di siang hari tenaga dan pikiran dikerahkan untuk bekerja. Berupaya mengais rizki dan mengejar kemurahan Tuhan. Makanya Tuhan kemudian menciptakan malam. Biar kita sejenak bisa menarik diri dari hiruk-pikuk siang hari. Dari kebesingan. Dari ketergesaan. Dan dari rutinitas hidup yang membosankan.
Nah.. malam menyediakan diri bagi kita untuk beristirahat. Untuk tidur. Asal tahu saja, pengalaman saya tidur malam lebih menyegarkan ketimbang tidur di siang hari. 4 jam tidur malam hari tak bisa dibandingkan dengan 4 jam tidur di siang hari. Tidak bisa memejamkan mata di malam hari juga lebih tersiksa ketimbang di siang hari. Jadi memaknai malam dalam pengertian ragawi itu tidak terlalu sulit. Cukup manfaatkan malam untuk tidur. Besok dijamin fisik kita segar.
Justru bagi saya yang paling sulit adalah memaknai malam dan keharusan istirahat dalam makna subtantifnya. Dalam pemaknaan ini, malam di samping untuk istirahat secara ragawi, juga menjadi lokus bagi batin dan kesadaran untuk berefleksi. Merenungi segala hal yang sudah kita lakukan di sing hari. Dan meretas jalan untuk kegiatan esok harinya. Ya..kira-kira dalam makna ini, malam adalah waktu yang tepat bagi kita untuk recharge. Men-cas kembali batin, nurani, kesadaran setelah seharian tertutup oleh rutinitas hidup yang membosankan. Harapannya esok hari raga dan jiwa kita lebih segar. Gagasan baru muncul. Mendorong kita lebih kreatif, syukur kalau esok hari kita tambah bijak dan lebih bermanfaat bagi sesama.
Lain lagi malam –lebih tepat tengah malam— bagi hamba yang mencintai-Nya. Malam adalah keindahan yang ditunggu-tunggu dan saat yang tepat untuk menenggelamkan diri dalam kerinduan kepada kekasih-Nya. Mencoba melampaui jasadnya, kesehariannya, dunianya, kekuasaannya, karena semua itu tak sebanding dengan kerinduan pada kekasih-Nya. Itulah yang saya dengar lakon para sufi. Seorang hamba yang tidak membiarkan sedetik saja untuk tidak mengingat-Nya.
Lambat laun malam mengalami perluasan makna. Makna yang tidak lagi sama dengan zaman dulu. Kapitalisme telah mengubahnya menjadi rame. Penuh hiruk pikuk dan tidak sunyi lagi. Malam yang oleh orang dulu dianggap menakutkan karena banyak makhlus halus bergentanyan, di tangan kapitalisme malam telah dipoles menjadi menghibur. Malah menggairahkan. Malam yang dulu menjadi jedah untuk istirahat dan tidur, sekarang tak ada ubahnya dengan siang. Dengan mudah kita bisa menyaksikan, orang banyak yang tidak tidur karena kebetulan aktivitasnya memang di waktu malam. Sepertinya saat ini, batas siang-malam sebagai waktu beraktivitas atau istirahat sudah kabur dan meluber.
ah..malam...
Nah.. malam menyediakan diri bagi kita untuk beristirahat. Untuk tidur. Asal tahu saja, pengalaman saya tidur malam lebih menyegarkan ketimbang tidur di siang hari. 4 jam tidur malam hari tak bisa dibandingkan dengan 4 jam tidur di siang hari. Tidak bisa memejamkan mata di malam hari juga lebih tersiksa ketimbang di siang hari. Jadi memaknai malam dalam pengertian ragawi itu tidak terlalu sulit. Cukup manfaatkan malam untuk tidur. Besok dijamin fisik kita segar.
Justru bagi saya yang paling sulit adalah memaknai malam dan keharusan istirahat dalam makna subtantifnya. Dalam pemaknaan ini, malam di samping untuk istirahat secara ragawi, juga menjadi lokus bagi batin dan kesadaran untuk berefleksi. Merenungi segala hal yang sudah kita lakukan di sing hari. Dan meretas jalan untuk kegiatan esok harinya. Ya..kira-kira dalam makna ini, malam adalah waktu yang tepat bagi kita untuk recharge. Men-cas kembali batin, nurani, kesadaran setelah seharian tertutup oleh rutinitas hidup yang membosankan. Harapannya esok hari raga dan jiwa kita lebih segar. Gagasan baru muncul. Mendorong kita lebih kreatif, syukur kalau esok hari kita tambah bijak dan lebih bermanfaat bagi sesama.
Lain lagi malam –lebih tepat tengah malam— bagi hamba yang mencintai-Nya. Malam adalah keindahan yang ditunggu-tunggu dan saat yang tepat untuk menenggelamkan diri dalam kerinduan kepada kekasih-Nya. Mencoba melampaui jasadnya, kesehariannya, dunianya, kekuasaannya, karena semua itu tak sebanding dengan kerinduan pada kekasih-Nya. Itulah yang saya dengar lakon para sufi. Seorang hamba yang tidak membiarkan sedetik saja untuk tidak mengingat-Nya.
Lambat laun malam mengalami perluasan makna. Makna yang tidak lagi sama dengan zaman dulu. Kapitalisme telah mengubahnya menjadi rame. Penuh hiruk pikuk dan tidak sunyi lagi. Malam yang oleh orang dulu dianggap menakutkan karena banyak makhlus halus bergentanyan, di tangan kapitalisme malam telah dipoles menjadi menghibur. Malah menggairahkan. Malam yang dulu menjadi jedah untuk istirahat dan tidur, sekarang tak ada ubahnya dengan siang. Dengan mudah kita bisa menyaksikan, orang banyak yang tidak tidur karena kebetulan aktivitasnya memang di waktu malam. Sepertinya saat ini, batas siang-malam sebagai waktu beraktivitas atau istirahat sudah kabur dan meluber.
ah..malam...
2 Responses so far.
Semoga tidak insomnia, mas
ha..ha...gak keh. kalau ishoma ya...
Posting Komentar