Posted by rampak naong - -

google.com
Ketika kita berhenti makan, seringkah kita menyisakan nasi di piring? Jangankan banyak. Sebutirpun saya sarankan sebaiknya kita habiskan. Usahakan jangan sampai ada sisa sebutir pun di piring. Jadikan piring mengkilat dan licin.

Mungkin ada yang bertanya, buat apa menghabiskan sebutir nasi? kan tidak kenyang juga? Sederhana saja saya akan menjawab. Pertama, Persoalannya bukan mengenyangkan atau tidak. Sebutir nasi pun adalah rizki Tuhan. Ia sampai di piring kita melalui proses panjang. Melibatkan banyak orang sejak disemai, ditanam, dipupuk, dipanen, digiling, dimasak hingga ahirnya sampai ke piring kita. Tidak mudah bukan, nasi sampai di piring kita?

Itu juga alasannya, kenapa orang tua di kampung, banyak  ‘menjilati’ tangannya yang penuh butiran nasi ketika selesai makan. Mungkin sementara orang malu atau jijik melakukannya. Tetapi orang kampung melakukannya sebagai wujud dari sikap mereka mensyukuri rizki Tuhan. Apalagi mereka petani yang tahu persis bagaimana sulitnya menghasilkan butiran nasi.

Kedua, yang lebih penting dengan menghabiskan sebutir nasi hakikatnya kita belajar berempati. Di saat warga miskin sulit makan nasi (baca Terenyuh Warga Miskin Makan Singkong Selama 5 Hari), kita tentu tidak etis menyiakan-nyiakannya. Secara tidak langsung, menyisakan nasi di piring, sama saja kita melakukan pelecehan terhadap kehormatan warga miskin. Meski kita tidak bisa membantunya, setidaknya kita belajar menajamkan kepekaan nurani dengan berempati kepadanya.

Terus terang makna sebutir nasi mulai mengganggu pikiran saya selesai menerima telpon seorang teman kemarin. Secara empatik, teman saya bercerita tentang warga miskin desa yang ditemuinya. Sebuah cerita yang menjadi penguat dari tulisan pak Faisal Basri  bahwa 2/3  penduduk miskin ada di pedesaan ( baca Angka Kemiskinan Turun Tapi Lambat Sekali ).

Ceritanya begini. Seorang ibu muda, 22 tahun, terpaksa membesarkan anak tunggalnya sendiri karena suaminya bekerja sebagai kuli bangunan di Jakarta. Di samping anak, ia juga menanggung hidup ayahnya yang sakit-sakitan. Ibu muda ini bekerja banting tulang, karena suaminya tidak bisa mengirim uang. Sampai detik ini, hasil bekerja suami  hanya cukup  untuk bertahan hidup di Jakarta.

Suatu hari teman saya ketemu sama ibu ini. Setelah basa-basi, di akhir pembicaraan ibu muda ini menitip pesan sama teman saya, “ jika mas  punya nasi basi, jangan dibuang. mas tak perlu malu, kasihkan saja sama saya”.

Tentu teman saya tertegun. Tak percaya. Bagaimana mungkin nasi basi akan dimakan? Ketika menelpon kepada saya, ia bilang, “Rik ...begitu berharganya nasi. Sejak detik itu saya berjanji, ketika makan tak akan membiarkan sebutir pun nasi tersisa di piring saya”.

Saya bahagia karena teman saya suka berbagi. Bersama istrinya ia sering mengantar nasi  lengkap dengan lauknya kerumah ibu muda miskin itu. Tentu yang diantar bukan nasi basi.

Nah, masihkah kita menyisakan sebutir nasi di piring kita?