Posted by rampak naong - -

singkongku.blogspot.com
Beberapa hari yang lalu, keponakan saya –yang tempat tinggalnya kira-kira 7 km dari rumah saya—bersilaturrahmi ke rumah. Secara empatik, ia bercerita tentang kgegetiran hidup yang dialami tetangganya. Begitu sulitnya untuk sekedar survive dalam situasi ekonomi yang makin terpuruk seperti saat ini. Sesekali ia menyesali peran negara yang abai terhadap warganya.

Cerita pertama tentang tetangganya yang sudah 5 hari makan singkong rebus. Saya terenyuh. Mendengarnya membuat saya merinding sambil menahan marah karena tidak tahu harus berbuat apa. Kadang saya tidak percaya. Di zaman seperti ini, masih ada rakyat yang makan singkong rebus selama lima hari? Bagi saya ini adalah fakta yang sangat menyedihkan. Menusuk jantung kemanusiaan. Sayang, tusukan menghunjam ke jantung kemanusian tetap saja tak mampu mengalihkan perhatian para elit selain berjibaku berebut “gizi” sambil menginjak hak warga miskin di altar kekuasaannya.

Keponakan saya meneruskan ceritanya. Ketika ponakan saya ketemu sama tetangganya yang makan singkong rebus selama 5 hari, ia bercerita sambil menangis. Masalahnya pencernaan anaknya tak kuat lagi menggiling singkong rebus selama 5 hari. Ia menangis ketika anaknya bilang, “pak...saya pingin nasi”. Saya membayangkan (sekali lagi hanya mampu membayangkan), begitu gaduhnya hati, pikiran, dan perasaan si bapak ketika mendengar permintaan polos dari seorang anak untuk makan nasi? Sementara saya melihat di warung makan, orang-orang banyak yang tidak menghabiskan nasi, hanya karena (mungkin) hawatir dinilai rakus? 

Cerita kedua tak kalah menyentuhnya. Di suatu pagi, ada tetangga keponakan saya yang “menyorongkan” kayu bakar ke tungkunya, pada hal tidak ada sesuatu yang dimasak. Dengan asap yang mengepul, ia hanya ingin memastikan kepada tetangga  di sekitarnya, bahwa ia masih bisa masak. Pada hal sebenarya tidak. Ia hanya ingin tetangga di sekitarnya tidak perlu tahu bahwa ia tidak punya beras untuk dimasak. Ia malu.

Saya hanya mengelus dada, tak tahu apa yang harus dilakukan. Kepada keponakan saya hanya bilang agar diakseskan ke beras raskin pada pemerintahan desa. Dari kasus ini,  saya belajar setidaknya beberapa hal :
  1. Meski dua orang ini miskin tapi mampu menjaga kehormatan. Kehormatan untuk tidak menjadi pengemis atau yang paling buruk menjadi maling. Sungguh kasus ini sangat kontras dengan kehidupan banyak orang –lebih-lebih para elit—yang rakus dan tamak, termasuk dengan mengambil hak orang lain.
  2. Kasus di atas sekali lagi menunjukkan bahwa warga miskin sangat tangguh. Ia memiliki kesabaran luar biasa menghadapi hidup yang makin tidak menentu. Tetapi kesabaran warga miskin tidak bisa dijadikan alasan oleh negara untuk mengabaikannya. Negara berkewajiban memenuhi hak-hak sosial-ekonomi warga miskin.
  3. Database penerima beras raskin begitu kacaunya. Orang yang seharusnya menerima malah tidak memperoleh. Sebaliknya, yang tidak pantas menerima, malah dapat.
  4. Saya percaya banyak kasus serupa di belahan republik ini. Kemiskinan gampang ditemui di mana-mana. Sudah saatnya para elit bahu-membahu berpikir dan untuk menyejahterakan masyarakat –terutama warga miskin—daripada sibuk berjibaku berebut kekuasaan. Mengabaikannya adalah mendhaliminya.
Itulah dua cerita yang membuat saya terenyuh tapi bisu dalam tindakan.