Posted by rampak naong - -

google.com
Pernah dengar Sahabat Umar bin Khattab yang tidak memotong tangan pencuri ketika ketahuan mengambil hak orang lain? Ya, saat menjadi khalifah, Umar ‘mengabaikan’ perintah Alqur’an dengan tidak memotong tangan pencuri. Apakah Umar melawan perintah Allah? Tentu saja tidak. Umar tidak memotong tangan pencuri itu karena ia mencuri semata didesak oleh rasa lapar. Jelasnya, ia melakukan pencurian bukan karena profesinya memang pencuri.

Nah, kejadian seperti ini beberapa minggu lalu terulang lagi di daerah saya, Sumenep-Madura. Jagung yang sudah siap panen tiba-tiba raib. Kejadian itu berturut-turut sampai tiga malam. Tak ada jejak siapa malingnya. Karena ladang yang ditanami jagung agak jauh dari rumah penduduk.

Cuma setiap kali jagung raib, malingnya meninggalkan sepucuk surat yang berisi pesan singkat. “Sapora, banni keng ngeco’a, tape polana lapar” (maaf, bukan karena niat mencuri, tapi karena kami lapar). Itulah pesan singkat yang ditinggalkan setiap kali pencuri membabati tanaman jagung selama 3 malam. Saya menduga pencurinya orang/kelompok yang sama. Saya juga yakin meski malingya sama, pencurian itu dilakukan bukan karena profesinya, tetapi karena didesak kelaparan sebagaimana dalam pesan singkatnya.

Bagaimana saya sampai pada kesimpulan itu? Pertama, seingat saya peristiwa ini baru pertama kali terjadi di daerah saya dimana ada seorang pencuri yang meninggalkan sepucuk surat. Dalam surat itu juga sangat tegas alasan mencuri, KARENA LAPAR. Kasus ini akan mudah dipahami jika ditempatkan dalam konteks ekonomi sekarang yang makin membuat masyarakat kecil terpuruk.

Meski data angka kemisikinan versi pemerintah menurun, tapi ‘kualitas’ kemiskinan makin buruk. Hal ini bisa saya saksikan pada masyarakat pedesaan yang banyak menjual harta miliknya seperti binatang ternak, emas, tanah, hanya untuk menyambung hidup. Bagi yang tidak memiliki harta apa-apa, yang dilakukan hutang sana-sini.

Kedua, yang diambil jagung. Jenis pangan ini masih dikonsumsi oleh masyarakat Madura ketika tidak memiliki uang untuk membeli beras. Tentu sebelum dimasak, jagung ini digiling dulu hingga halus, baru kemudian dimasak. Sampai saat ini jagung masih menjadi bahan pokok pengganti beras di Madura.  

Kedua, ‘maling profesional’ tidak akan mencuri jagung karena nilai jualnya murah. Maling profesional biasanya mencuri barang berharga seperti emas, kendaraan bemotor, ternak, dsb.

Di Balik Kasus ‘Maling Bukan Maling’

Tindakan pencurian apapun alasannya tidak bisa dibenarkan. Hak milik sesorang (hifdz al mal) dilindungi oleh agama dan undang-undang positif. Termasuk alasan lapar, tak bisa dijadikan alasan untuk mencuri. Lebih-lebih kalau dilakukan untuk memerkaya diri seperti kasus mega-korupsi di negeri ini.

Cuma kalau diletakkan dalam konteks keterpurukan ekonomi saat ini saya ‘memahami’ (bukan membenarkan) tindakan ‘pencurian darurat’ itu. Kasus ini  sebenarnya semakin membuka mata, bahwa kemiskinan makin memburuk.

Dalam data resmi, angka kemiskinan dilansir mengalami penurunan. Jika tahun 2009 angka kemiskinan  32,5 juta jiwa atau 14,1%, pada tahun 2010 sebesar 31,0 juta jiwa atau 13,3% ( baca ini ). Saya bukan tidak percaya data resmi versi BPS. Tapi dalam pengalaman sehari-hari yang saya lihat, saksikan, dengarkan, dan rasakan kemiskinan makin memburuk, meluas, dan meningkat, setidaknya di daerah saya. Bagaimana tuan-tuan, masihkah kebelet bangun gedung baru? Silahkan saja jika tuan-tuan mau menyaksikan pencurian darurat yang cukup meminta maaf dengan sepucuk surat. Tapi sekali-kali saya ingin mendengar tuan-tuan yang meminta maaf.