Posted by rampak naong - -

google.com
Kemarin pagi sekitar jam 10.00 wib seorang kakek lewat depan rumahku. Berpakaian kolor di atas latut, sarung yang digulung di pinggang dan tidak pake baju, si kakek nampak “perkasa” memanggul lencak (semacam dipan terbuat dari bambu yang biasa dijadikan tempat duduk di Madura) yang dijajakan dari rumah ke rumah.  Jalannya masih lumayan cepat, meski badannya agak membungkuk menahan berat lencak yang dipikulnya.

Kebetulan ketika bersamaan dengan si kakek lewat ada temanku, Farid. Farid cerita bahwa si kakek sudah dari tadi keliling kampung menjajakan lencak yang tidak laku-laku. Aku cuma bisa membatin dalam hati, inilah potret masyarakat kecil yang  harus bekerja ekstra keras untuk mempeoleh sesuap nasi.

Melihat kakek itu, aku ‘maju-mudur’ untuk sekedar menyapa. Hawatir aku dikira mau beli lencak yang dia panggul. Tetapi aku teruskan untuk sekedar menyapa.

“Pak, ayo mampir dulu. Istirahat dulu sambil ngopi”, aku coba menyapanya

Si kakek menoleh. Mungkin dia berpikir ada yang mau beli. Di sini perasaan dosaku muncul. Berarti aku seolah memberinya harapan.

“Tidak usah”, jawabnya singkat. Aku masih melihat senyum keikhlasan di tengah beratnya memanggul lencak, simbol beratnya beban hidup yang dia tanggung.

“Ayolah pak..sekedar ngopi saja”, kataku memaksa.

“Tidak usah, terimakasih”, jawab si kakek lagi.

Si kakek melanjutkan langkahnya ke arah timur rumahku. Membawa segenap empatiku yang tak tersambungkan. Akhir-akhir ini, masyarakat desa di daerahku makin dituntut bekerja ekstra. Situasi ekonomi yang tak kunjung membaik di negeri yang katanya kaya ini, berdampak nyata bagi masyarakat kecil seperti si kakek yang “perkasa” itu. Tetapi melihat senyum keikhlasannya, dia sepertinya sangat bahagia.