Posted by rampak naong - -

okezone
Kemarin (29/12), sekitar jam 10 wib terjadi pembakaran pesantren syiah di dusun Nangkrenang, Karanggayam, Omben, Sampang. 3 rumah dan 1 mushalla hangus terbakar. Ratusan pengikut syi’ah dievakuasi, sebagian direlokasi ke GOR, kabupaten Sampang.

Ketika peristiwa kekerasan ini terjadi, sebenarnya saya sedang mengikuti dialog tentang pengembangan Madura paska suramadu di sebuah pondok pesantren, mungkin hanya puluhan kilo dari lokasi kejadian.

Berita tentang pembakaran itu saya dengar sekitar jam 11.30. Ketika itu, peserta rame membicarakan kasus pembakaran yang informasinya diperoleh melalui sms berantai. Saya sendiri tidak bisa mendalami peristiwa itu, misalnya, berapa jumlah bangunan yang dibakar, apakah ada korban, berapa jumlah korban, berapa jumlah pelaku dan seterusnya, karena pesan melalui sms yang sampai kepada peserta terlalu singkat. Belum lagi peristiwa baru terjadi. Jadi, informasi yang seleweran via sms tidak bisa dijamin validitasnya.

Sebenarnya saya ingin ke  lokasi setelah acara selesai. Karena sudah 3 bulan terakhir ini saya terlibat dalam melakukan investigasi tentang kasus-kasus kekerasan atas nama agama/keyakinan, termasuk di daerah Sampang. Tetapi sayang, di samping karena saya dari Sumenep ke Sampang, yang jaraknya lebih 100 km, satu mobil bersama rombongan, saya juga tidak banyak membawa perlengkapan, seperti kamera dan alat rekam. Akhirnya, dengan terpaksa saya ikut pulang ke Sumenep.

Sebelumnya, saya sudah dua kali ke Sampang. Dalam dua kali kunjungan saya tidak bisa ke lokasi karena di daerah  itu suasanya masih mencekam. Saya juga sangat sulit untuk mengakses data, termasuk dokumen hasil mediasi yang dilakukan Muspida Kabupaten Sampang.

Dari Konflik Keluarga Menjadi Konflik Sosial
Kunjungan saya yang pertama pertama (awal November) , saya sempat mewawancarai Kepala Bakesbangpol , H. Rudi Setiadi SE. Menurutnya, awalnya konflik akibat perbedaan keyakinan  ini sebenarnya merupakan konflik keluarga.  Ustadz Tajul Muluk, pemimpin komunitas syiah yang pesantrennya kemarin dibakar, memiliki saudara bernama ustadz Rais. Sebenarnya ustadz Rais sendiri adalah pengikut syi’ah (Ijabi) juga. ini berbeda dengan pemberitaan di sejumlah media, misalnya Jawa Pos (30/12) yang menyebut bahwa Rois adalah sunni.

Entahlah, hubungan keduanya kemudian tidak mesra. Konflik keluarga ini kemudian berubah menjadi konflik social yang akhirnya melibatkan penganut sunni.

Konflik ini awalnya terjadi pada tahun 2004. Ketika itu, syiah yang diyakini oleh ustadz Tajul Muluk “disesatkan” oleh tokoh-tokoh yang berbeda faham dengannya. Pada tahun 2006 hampir terjadi kekerasan fisik ketika ribuan massa mengepung basis pengikut syiah di dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben. Tetapi untungnya kekerasan terjadi. Tetapi massa yang jumlah sangat banyak telah melakukan intimidasi.  Selanjutnya, pada tahun 2009 situasi memanas kembali. Bahkan di tahun itu, polres Sampang berjaga-jaga di dusun Nangkrenang.

Pada tahun 2011 situasi memanas kembali.  Meski pihak Muspida Kabupaten Sampang telah melakukan mediasi, tetapi belum bisa menyelesaikan masalah. Pangkal masalahnya, karena dalam mediasi itu, ustadz Tajul berada dalam posisi yang lemah. Sehingga keputusan hasil mediasi itu pun tidak bisa mewakili aspirasi ustadz Tajul dan jama’ah syiah. Bahkan tokoh Agama di Sampang menuntut agar ustadz Tajul di relokasi. Dan benar, ustadz Tajul dalam beberapa bulan sempat dielokasi ke Malang, meski beberapa terakhir ini kembali lagi ke Sampang.

Kemarin, kekerasan terhadap pengikut syiah kembali terjadi. Pesantren ustadz Tajul dibakar. 1 mushalla dan 3 rumah hangus. Meski tidakada korban jiwa, tetapi pengikut syiah, termasuk perempuan dan anak-anak seluruhnya di relokasi. Suasana Sampang semakin mencekam. Siklus kekerasan seperti tidak berakhir. Sebelum pembakaran kemarin, setengah bulan sebelumnya juga terjadi pembakaran sebuah rumah pengikut syiah di kecamatan Karang Penang.

Sampai Kapan?
Seharusnya kekerasan atas nama apapun di negeri ini tidak bisa dibenarkan. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan susulan. Seharusnya, semua pihak duduk satu meja. Negara, melalui muspida kabupaten Sampang, harus melakukan mediasi. Tentu mediasi yang adil, terutama bagi korban kekerasan. Bukan seperti mediasi sebelumnya, dimana pihak pengikut syiah berada dalam posisi lemah dan kalah. Mediasi yang hanya memuaskan mayoritas dan merugikan minoritas.

Pelaku kekerasan harus ditindak tegas. Negara, melalui aparat keamanan, juga harus melindungi keamanan dan keselamatan warganya, tanpa diskriminasi. Seandainya sejak awal, negara mampu mengantisipasi  dan menyelesaikan masalah yang sebenarnya cukup lama ini, kekerasan pasti bisa dicegah.  Sayang, sepertinya antisipasinya lambat. Tentu kita bosen selalu mengajukan pertanyaan, sampai kekerasan di negeri ini berakhir?

**Data dalam tulisan ini saya himpun dari berbagai sumber.