Posted by rampak naong - -

diunduh dari google
Waktu masih semester dua zaman saya kuliah dulu, saya sudah berniat pulang kampung. Ketika saya utarakan niat saya kepada seorang teman, ia kaget.

“Ngapain ente pulang kampung? Emang di desa bisa kerja apaan?”

Meski waktu itu saya tidak memiliki alasan rasionalnya, niat saya pulang tak bisa dibendung. Saya hanya ingat pesan almarhum ayah, “buat apa sekolah jauh-jauh, kalau pengetahuan yang sudah direguk tidak dishare untuk daerah asalnya”. Akhirnya saya putuskan, cukup tujuh tahun saya menikmati Jakarta, untuk kemudian kembali ke daerah asal.

Teman-teman yang satu daerah dengan saya, hampir semuanya memilih Jakarta. Terror pertama yang muncul ketika ditanyakan, kenapa tidak kembali ke desa? Jawabannya sama, justru kembali mengajukan pertanyaan seperti di atas, “di desa nanti saya kerja apa?”

Pulang kampung, pilihan peradaban

Kembali ke desa atau memilih menetap di kota, adalah pilihan. Hal ini bukan soal baik dan buruk. Ketika saya membulatkan niat pulang kampung, tidak berarti saya menganggap buruk pilihan teman-teman yang memilih menetap di kota.
 
Tentu saya sadar, bahwa ketersediaan lapangan pekerjaan di desa tidak seluas di kota. Lagi-lagi dalam hal ini, saya berhutang banyak pada penduduk desa yang mengajari saya kearifan local. Meski sederhana sesuai alam piker masyarakat desa, tetapi memiliki kekuatan yang dahsyat. Kata orang desa, “pangeran ta’ adhuum lako, tape adhuum rizki.” Arti bebasnya kira-kira, Tuhan itu tidak membagikan pekerjaan, tapi member kita rizki.

Ternyata pengalaman saya, hidup di desa tidak seruwet pikiran teman-teman yang memilih menetap di kota. Termasuk dalam masalah rizki. Alhamdulillah saya hingga detik ini dianugerahi kecukupan oleh Allah. Ketika melihat sawah terhampar, di situlah tempat orang desa mengais rizki. Meski hasilnya tidak selalu indah, tapi hamparan sawah telah menyumbang peran besar dalam kehidupan manusia. Ia di samping bermanfaat bagi si empunya, juga memberi manfaat bagi orang lain karena telah menyumbang bagi ketersediaan pangan.

Meski baru mulai dua tahunan ini, saya bersyukur karena saat ini bertambah profesi saya menjadi petani. Ya saya menggeluti pertanian organic, yang sejauh ini hasilnya telah banyak saya nikmati. Tentu profesi petani ini melengkapi keterlibatan saya di dunia pendidikan. Karena basis materiil masyarakat desa adalah tanah, jadi belum lengkap sepertinya menjadi orang desa tanpa menjadi petani.

Saat ini saya sudah menemukan jawabannya, alasan saya  pulang kampung adalah pilihan peradaban. Atau lebih tepatnya, desa bagi saya menjadi tempat yang tidak habis-habisnya untuk belajar tentang keadaban dan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kesederhaan, rendah hati, guyub, dsb yang jarang saya temui selama tujuh tahun saya hidup di Jakarta.

Betul di sana-sana akibat perubahan social-budaya yang berlangsung demikian cepatnya, nilai-nilai itu sudah mulai longgar. Tetapi saya tegaskan, di desa tempat saya tinggal tidak semuanya habis. Malah ada kecenderungan masyarakat untuk merevitalisasikannya.

Menajamkan Nurani
Memang, akibat salah urus negara dan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat kecil di desa, peristiwa mengenaskan banyak ditemui di desa. Akhir-akhir ini di tengah kebutuhan pokok yang terus naik, kehidupan orang desa demikian sulitnya. Cuma satu hal yang menggembirakan, mereka adalah pekerja keras, tangguh, dan selalu menemukan peluang di tengah kesulitan.

Dalam pengalaman saya di desa saat ini, pernah saya dengar dan saya saksikan sendiri ada orang yang terpaksa makan nasi basi, mencuri jagung karena lapar, makan singkong selama 5 hari, tak mampu membeli buku yang harganya 8 ribu rupiah, tak mampu menyediakan ongkos transportasi anaknya ke sekolah yang besarnya 2 ribu perak setiap hari, dan cerita pedih lainnya. 

Terus terang peristiwa seperti itu semakin menajamkan nurani saya. Mengasah kepekaan empati saya. Saya makin tahu maknanya bersyukur. Saya diajari makna berbagi. Saya diberi pengetahuan tentang kesederhanaan hidup. Saya dibagikan pelajaran gratis tentang rendah hati, tidak sombong, tidak mementingkan diri sendiri, dan seterusnya langsung secara riil dalam pengalaman keseharian orang-orang desa.

Sebagai orang desa, saya melibatkan diri dalam kegiatan RT. Membangun kebersamaan antar tetangga, dan saling menolong dalam kesusahaan. Kegiatan RT menjadi sarana yang ampuh untuk saling share pengetahuan antar sesama penduduk desa, termasuk juga ketika ada masalah-masalah social yang perlu diselesaikan.

Saya merasa pengetahuan yang saya timba dari dunia pendidikan tidak beku. Malah sejak kepulangan saya, pengetahuan yang saya dapati di bangku pendidikan menemukan makna praksisnya di desa, satu lokus yang seringkali dianggap sebelah mata oleh sebagian orang yang menetap di kota.

Bagi saya, ketajaman nurani sangat mahal harganya. Mungkin ini subyektif. Tetapi harus saya katakan, sukses seseorang tanpa  dibarengi ketajaman nurani dan kesediaan diri untuk terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi banyak orang, adalah kesuksesan semu. Kesuksesan yang akan cepat menguap, karena tidak mengakar di bawah.

Mungkin kita bisa berandai-andai, seandainya ketajaman rohani itu bisa dibeli, mungkin harganya melampaui barang apapun yang kita bisa beli dengan uang. Tetapi beruntung saya bisa memperolehnya gratis, dengan belajar  pada desa dan penduduknya yang sederhana. Sungguh, saya sudah jatuh hati pada desa.

Nah, penting para elit di negeri ini sekali-kali live in di desa. Merasakan langsung bau keringat rakyat kecil, tetapi pantang menyerah dan putus asa. Adakah yang mau?