Posted by rampak naong - -

kaskus
Jam 06.40 WIB menit tiba di kantor saya langsung mengambil Harian Kompas. Di halaman depan terpampang foto seorang anggota Badan Kehormatan DPR sedang mencoba kursi baru beli yang masih terbungkus plastic. Bukan sembarang kursi. Satu kursi harganya 24 juta. Maklum buatan jerman. Jika digunakan untuk membayar seorang buruh yang digaji 1 juta/bulan,  satu kursi setara dengan gaji buruh untuk dua tahun.
 
Pagi-pagi yang seharusnya menghirup udara sejuk, nafas saya sesak. Bukan marah. Tapi mual. Belum mengajar saya harus menelan bad news. Hanya oleh kursi, sebut saja kursi gila. Kursi yang tidak saja gila dari sisi harga, tapi gila karena wujud dari minus kepekaan dan kemanusiaan.
 
Jika anggota BK DPR nanti duduk di atasnya, hakikatnya ia bukan sekedar duduk di atas sebuah kursi gila dalam makna fisiknya. Ia sebenarnya telah duduk di atas penistaan terhadap kepekaan atas nilai-nilai kepatutan. Malah kursi yang ia duduki disanggah oleh matinya rasa kemanusiaan.
 
Maka saya saat ini harus merevisi makna kursi yang sejak dulu terlanjur ditafsirkan sebagai citra. Sebagai symbol orang yang mabuk kekuasaan. Sebagai wujud kegilaan terhadap kedudukan. Tentu, kursi dalam makna metaforis ini harganya juga mahal. Bahkan lebih mahal dari harga kursi –dalam makna nyata—yang saat ini baru dibeli.
 
Pasalnya, kursi dalam makna ini harus dibarengi sejumlah citra susulan dari orang yang ingin memilikinya.  Jelek dicitrakan baik. Elitis dicitrakan merakyat. Korup dicitrakan bersih. Semua ini seakan absah dilakukan oleh orang yang gila kursi. Kursi dalam makna citra.
 
Tetapi gila kursi dalam arti citra dan makna simboliknya, saat ini tak cukup. Ia harus berjejak. Citra butuh yang nyata. Symbol butuh berjejak. Inilah kegilaan susulan yang saya maksud yang berujung pada kursi gila, setelah gila kursi sukses.  Tak usah dipisahkan secara rigid batas kursi gila dan gila kursi. Dua-duanya telah membentuk kegilaan yang benar-benar  sempurna. Satu tontonan yang merangkum dua kegilaan, kursi gila dan gila kursi, dalam satu lokus, dalam satu citra, juga dalam satu yang nyata.
 
Satu lagi, pengetahuan yang saya dapati dari kasus kursi gila ini. Saya, sebagai guru, semakin kesulitan  menemukan ketauladanan di kalangan elit yang bisa menjadi inspirasi kami –guru dan siswa—di ruang-ruang kelas. Sementara di ruang kelas kadang siswa hilang tanpa pamit, karena harus ikut orang tuanya bekerja ke luar daerah, dan terpaksa berhenti.  
 
Kursi gila dan gila kursi ini benar-benar telah menikam rasa keadilan dan kemanusiaan, bukan sekedar kepatutan.