Posted by rampak naong - -

dok.pribadi


“Alayka –l-harakah, wa-alallahi –l-barakah [Hendaklah kamu bergerak, dan tanggungan Allah-lah untuk memberikanmu keberkahan]”
dikutip dari buku Ahmad Baso,2012

Beruntung saya membaca buku Pesantren Studies karya Ahmad Baso, seorang penulis yang tekun menggali khazanah Pesantren sebagai formasi pengetahuan yang diposisikan secara vis-à-vis terhadap rezim pengetahuan global. Saya menemukan bab khusus yang mengulas santri kelana [mustami’] Madura sebagai actor dan jaringan informasi pesantren se-NUsantara ketika melawan kolonialisme. Saya mendasarkan sepenuhnya tulisan berikut pada buku Baso tersebut [lihat Pesantren Studies 2a, Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban santri di Masa Kolonial, Pustaka Afid Jakarta, hal. 191-222]. 

Ijinkan sebelumnya saya memberi sedikit gambaran tentang santri kelana. Santri kelana adalah sebutan kepada santri [dahulu] yang haus ilmu, mobile, dan pindah sebagai pengembara ilmu dari satu kiai/pesantren ke kiai/pesantren lain. Santri di sini bisa dalam arti ‘formal’ atau sekedar menjadi santri mustami’, santri yang “cukup” bermodal sebagai pendengar ajian atau dhabu kiai, dan akhirnya menjadi pengikut kiai. 

Dalam buku ini ada fakta yang mencengangkan. Ternyata santri kelana banyak dilakukan santri Madura. Ada bukti pada abad 19, santri Madura sangat sering memanfaatkan tehnologi kereta api, yang baru pertama kali dibuka di Jawa, untuk tujuan-tujuan –istilah Baso—kesantrian dan membangun peradaban.

Dibukanya transportasi kereta api ini dimanfaatkan dengan baik oleh santri Madura untuk berkelana dan mengembara melipatgandakan pengetahuan [utamanya ilmu-ilmu keagamaan] dari kiai/pesantren ke kiai/pesntren lain di satu sisi, serta mengumpulkan data dan informasi dari berbagai kalangan dan profesi [dari kiai sendiri, pedagang, pelaku seni, peziarah, hingga orang-orang Belanda] tentang kondisi di penjuru NUsantara yang saat itu dicengkeram kolonialisme.

Pengetahuan, informasi dan data itu kemudian diolah oleh santri kelana Madura dan didistribusikan kembali kepada para kiai/pesantren se-NUsantara. Peran santri kelana Madura sebagai actor informan dan jejaring informasi makin menguatkan imagi kebangsan para kiai/pesantren se-NUsantara, sebagai kumonitas yang senasib di bawah cengkeraman kolonialisme. Dari pengetahuan, data, dan informasi itulah formasi social dibangun sebagai wacana dan gerakan tandingan terhadap formasi pengetahuan dan formasi social yang dibangun pihak colonial.

Dari sini juga kemudian muncul perlawanan, pergolakan, dan “kerusuhan” yang diinisiasi para kiai dan para santri kelana sebagai upaya pembebasan NUsntara dari tangan pihak colonial. Keterlibatan santri kelana Madura dalam perang Diponogoro yang hebat itu misalnya, hanya sekedar contoh bagaimana santri kelana Madura bahkan tidak sekedar menjadi actor informan tetapi juga turun ke medan laga. 

Makin mencengangkan juga ternyata Madura selama abad 18 dan 19 menjadi kiblat pendidikan dan peradaban bangsa. Sebagai pusat pengetahuan, data, dan informasi tentu saja menjadikan Madura sebagai tujuan penting dari santri kelana daerah lain di Nusantara. Tidak itu saja, Madura menjadi tujuan para ulama Negeri Hadramaut [Yaman] untuk mengajar seperti Sayid Syekh bin Ahmad Bafaqih yang sempat mengajar Bahasa Arab di Sumenep, dimana Panembahan Natakusuma atau Panembahan Sumenep menjadi muridnya.

Juga Raffles harus datang ke Madura untuk memburu data bagi kepentingan bukunya, The History of Java. Bahkan Snouck Hurgronje, orientalis dan penasehat penjajah Belanda itu, berniat datang ke Madura meski akhirnya tidak kesampaian. Jika tidak ada “gula”, buat apa orang luar datang ke Madura?  

Dan jangan lupa, di abad 19 hadir Embah Chalil Bangkalan yang alim dan karamah ramai dikunjungi para santri atau mustami’, dan di kemudian hari melahirkan para kiai-kiai besar yang menjadi actor penting dalam menentang koloniaisme. Melalui restunya juga, NU lahir. Kelahiran NU tak bisa dilepaskan dari sosok santri kelana yang berfungsi sebagai informan [baca, kon-pakon] Embah Chalil dengan Embah Hasyim Asy’ari yaitu, KH As’ad Syamsul Arifin.

Ternyata Antropolog dan Sosiolog memandang Madura sebagai daerah terisolir –dan karena itu tak [akan] mampu mencipta peradaban besar— kecele. Justru dalam serba kegersangan dan kesulitan dijadikan peluang oleh santri kelana Madura untuk mengembara mencari pengetahuan dan menghimpun data dan informasi yang di kemudian hari menjadi formasi pengetahuan sekaligus formasi social baru vis-à-vis colonial[isme]. Satu siasat cerdas yang penting kita refleksikan, di saat santri kini akrab dengan jejaring social serta hadirnya jembatan Suramadu. Semoga.

Matorsakalangkong
Pulau Garam | 20 Pebruari 2012   

One Response so far.

Mahwi Air Tawar mengatakan...

Mator sakalangkong, Lora Dardiri. Tulisan yang menarik. Salam takzim