Posted by rampak naong - -

fajarokto.blogdetik.com

Sebagai seorang guru di desa, saya tahu betul bagaimana repotnya sekolah berhadapan dengan pejabat pendidikan, terutama ketika berkunjung ke sekolah. Sudah bukan rahasia lagi banyak sekolah yang harus menyediakan ‘amplop’ sekadar pengganti transportasi bagi pejabat pendidikan. Ini memang aneh, karena mereka digaji memang untuk melakukan tugas itu, tapi terkadang dapat lagi dari sekolah yang dikunjunginya.

Gaya pejabat pendidikan pun macam-macam. Ada yang terang-terangan meminta. Sekolah saya termasuk yang rigid untuk tidak memberi “amplop” bagi pejabat pendidikan. Sial. Malah pejabat pendidikan itu mengkampanyekan di sekolah-sekolah lain bahwa sekolah saya pelit.

Yang umum tidak terang-terangan. Jika dikasih amplop ya tidak menolak. Tidak pun tak jadi soal. Cuma banyak sekolah yang “tahu diri”. Agar tidak dipersulit ketika mengurus sesuatu di birokrasi pendidikan, banyak sekolah yang mengangggap “amplop” itu biasa.

Pejabat Ini Berbeda

Hari terakhir (kamis/18 April) pelaksanaan UN SMA/MA/SMK, 3 orang pejabat pendidikan ke sekolah saya. Salah satunya saya kenal baik, seorang Kasi PLS di di dinas pendidikan di daerah saya. Kedatangan mereka untuk melihat pelaksanaan UN di sekolah saya.

Lumayan lama saya berdiskusi dengannya tentang masalah-masalah pendidikan di Indonesia, termasuk di daerah saya. Mulai sejak visi pendidikan di Indonesia yang tidak menjangkarkan diri pada kebudayaan bangsa hingga otonomisasi (evaluasi) pendidikan, agar ujian diserahkan kepada guru dan sekolah.

Puas berdiskusi, mereka pamit. Seperti biasanya tidak ada agenda memberi “amplop” bagi mereka. Tapi atas desakan seorang guru akhirnya sekolah memberi amplop juga. Amplop diserahkan oleh seorang tenaga administrasi ketika pejabat pendidikan ini menuju parkir mobil. Saya sendiri tidak mengantarnya.

Ketika tenaga administrasi itu kembali ke kantor, saya bertanya, “diterima ya?”. Ia mengangguk. Saya paham meski sedikit heran. Masa, pejabat pendidikan yang sejak dulu saya kenal baik dan saya tahu sangat idealis, mau menerima “amplop” itu? Tapi ketika “amplop” berpindah tangan, citra dan karakter pejabat pendidikan itu pun terhapus dari memori saya. “Ah…sama saja,” begitu nyanyian hati.

Ternyata dugaan saya salah. Hari Minggu (21 April) ketika saya sedang menemani anak bermain, seseorang yang disuruh pejabat pendidikan itu datang menyerahkan “amplop” kepada saya tetap dalam keadaan tertutup. “Ini dari bapak agar di sampaikan ke sekolah. Tak perlu kayak gini katanya,” ia menirukan ucapan bosnya itu.

Di tengah isu tidak sedap tentang maraknya suap dan korupsi di mana-mana, cerita kejujuran pejabat pendidikan ini begitu menyejukkan. Pejabat jujur masih ada, tak perlu digeneralisasi “tukang ngibul” semua. Meski mungkin jumlahnya kecil, mereka tetap akan menjadi telaga bagi lingkunga kerjanya atau setidaknya di lingkungan keluarga; istri, anak-anak, dan juga tetangganya. Ya, mereka adalah guru kejujuran yang akan menularkan karakter jujur pada lingkungannya.

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 24 April 2013